Kamis, 29 April 2010

Dari Palestine ke Ritz-Carlton

Saudara-saudaraku seiman,

Masih ingatkah anda semua dengan teriakan lantang dari para tokoh Islam negeri ini yang meminta kita untuk melaknat Israel dan sekutu-sekutunya, terutama Amerika Serikat. Dan juga apa yang melatarbelakangi tindakan tersebut?

Tentu, anda masih ingat bukan? Pembantaian saudara kita seiman di Palestina yang tidak kunjung usai. Lebih dari 400 anak-anak dan wanita gugur syahid, insya Allah, dalam pertempuran Gaza pada akhir tahun 2008 yang lalu. Ribuan warga sipil tewas bersamaan dengan gempuran bom, senjata biokimia, desingan peluru dan raungan mesin-mesin tank Israel. Ratusan rumah rubuh dihajar roket dan diratakan dengan tanah, menyebabkan ribuan saudara kita seiman menjadi tuna wisma dalam seketika.

Kondisi ini semakin diperparah dengan boikot terhadap segala bantuan kemanusiaan dari pihak internasional. Israel melarang segala bantuan untuk masuk kedalam Jalur Gaza. Israel bahkan sudah melakukan hal tersebut jauh sebelum perang berlangsung. Padahal sebelumnya sebuah gencatan senjata sedang berlangsung, yang juga dilanggar oleh Israel.

Penyelidikan pihak independen telah dilakukan terhadap berlangsungnya perang ini. Richard Goldstone, seorang hakim Yahudi dari Afrika Selatan, memimpin jalannya penyelidikan ini. Apakah hasil dari penyelidikan Goldstone? Sebuah laporan tentang betapa bejadnya Israel. Tumpukan daftar pelanggaran HAM dan hukum internasional mengenai peperangan dicatat dalam Laporan Goldstone. Semua itu dilakukan oleh Israel, dengan mengatasnamakan bela diri. Namun laporan ini mendapatkan veto dari Amerika Serikat, sebagai sekutu dekat Israel.

Sebuah penjajahan dengan mengatasnamakan bela diri. Sebuah ketidakadilan terhadap ribuan, kalau tidak jutaan, umat manusia dengan mengatasnamakan bela diri.

Inilah yang memicu para tokoh Islam ini untuk mencanangkan sebuah aksi protes yang mulia. Sebuah aksi solidaritas atas sebuah ketidakadilan dan penindasan terhadap saudara seiman kita. Betapa indahnya teriakan lantang "Allahu Akbar!" bergema dalam munashoroh yang berlangsung dengan tertib dan damai. Betapa tegasnya pernyataan sikap untuk memboikot semua produk yang dapat memberikan keuntungan terhadap pihak Zionis. Satu rupiah yang dikeluarkan untuk tiap produk itu adalah satu butir peluru yang akan menghujam badan saudara kita.

Sebuah kesadaran yang mulia untuk memperjuangkan keadilan, kemerdekaan, dan hak asasi manusia di tanah Palestina.

Apakah kondisi ini sudah berakhir? Belum, saudaraku seiman.

Kondisi ini masih terjadi. Gaza masih diblokir. Warga sipil Gaza masih kelaparan dan tidak memiliki rumah untuk berteduh. Duka atas kehilangan saudara, anak, ayah, ibu, kakek, nenek, tetangga dan teman masih bergema di seluruh daratan Gaza. Ratap tangis masih mengalir dalam hati mereka yang terluka. Trauma yang dialami para anak yang selamat masih ada, dan masih belum dapat dirawat secara medis. Mimpi mereka masih seputar desing peluru dan raungan mesin tank yang menghancurkan rumah, rumah sakit, sekolah, dan mungkin teman mereka.

Kondisi menyedihkan ini masih berlangsung, saudaraku seiman. Tidakkah tetes air mata anda mengalir mendengarnya? Tidakkah hati anda tersentuh? Apakah amarah masih berkecamuk dalam dada untuk mereka? Apakah semangat juang masih ada demi mereka?

Para tokoh yang dulu meneriakkan kecaman terhadap musuh umat Islam Palestina kini sudah lupa dengan apa yang mereka ucapkan. Mereka telah terlena dengan kondisi di negeri mereka sendiri dan mengabaikan kondisi saudara mereka. Mereka kini secara bersama-sama mengumpulkan peluru untuk serdadu Israel, agar dapat terhujam di dada pejuang dan rakyat Palestina.

Para tokoh ini melakukan semua ini dengan mengatasnamakan "harga yang murah" dan "untuk meningkatkan citra." Citra macam apa yang ingin mereka rengkuh? Citra sesosok pembunuh berdarah dingin yang menyediakan peluru untuk membunuh saudaranya seiman? Citra sekelompok orang yang lupa akan saudara seiman mereka yang masih kelaparan, tuna wisma, yatim piatu, cacat fisik, dan berduka? Citra sebuah jamaah yang berjuang dalam dakwah namun lebih akrab dengan musuh karena musuh memberikan diskon?

InnaliLLahi wa innaliLLahi rojiun.


Saudaraku seiman,

Ingatkanlah mereka akan siapa diri mereka!
Ingatkanlah mereka akan azab Allah yang mungkin menanti mereka! Ingatkanlah mereka akan pedihnya duka kehilangan saudara, teman, anggota keluarga dan juga tetangga!
Ingatkanlah mereka akan perihnya perut ketika lapar karena tidak dapat makan!
Ingatkanlah mereka kalau keimanan mereka menuntut mereka untuk berlaku lebih adil!
Ingatkanlah mereka untuk peka terhadap kondisi sosial umat!
Ingatkanlah mereka untuk berdakwah pada jalan dakwah yang murni tanpa tedeng aling-aling!
Ingatkanlah mereka kalau Amerika Serikat dan Israel masih menjadi musuh dan sama sekali bukan sahabat!
Ingatkanlah mereka kalau cinta kasih Allah SWT dan RasulNya menyertai orang-orang yang tertindas!
Ingatkanlah mereka kalau kemewahan Ritz-Carlton tidak memiliki arti untuk para anak yatim dan orang fakir!
Ingatkanlah mereka kalau lebih baik harga yang lebih mahal namun justru membangunkan nilai dakwah dibandingkan yang murah namun malah menindas saudara mereka seiman!
Ingatkanlah mereka akan ratap tangis yang masih menggema di tanah Palestina!
Ingatkanlah mereka sebelum semuanya terlambat dan semakin banyak saudara kita seiman yang bersimpuh darah!

Ya Allah, ampunilah kami yang masih terlena dengan kemewahan dan pesona kekuasaan, dan rendahkanlah hati kami dengan ketakwaan dan kesederhanaan.

Amiin, ya Robbal Alamiin..

Salam,
Stephanus Iqbal

Selasa, 27 April 2010

Sebuah Sudut Pandang Mengenai Demokrasi dan Pancasila

Bagaimanakah kita memandang sistem pemerintahan Negara kita ini? Sebuah pemerintahan berdemokrasi dan berPancasila ini berdiri sejak 60 tahunan yang lalu, dengan mayoritas penduduk umat Muslim. Jumlah Muslim yang hidup berkebangsaan dan berkenegaraan di Indonesia melebihi 70% dari jumlah keseluruhan penduduk negeri ini.

Saya melihat ada suatu masalah disini. Ketika Muslim berkumpul sebagai sebuah jamaah, hukum apa yang paling tepat untuk digunakan? Apakah hukum konsensus manusia sebagai UUD 1945 yang kita miliki sekarang ini? Ataukah hukum Allah yang tertuang dalam Al Quran dan As Sunnah? Hal ini menjadi dilematis bagi beberapa golongan, karena justru orang-orang yang menolak penegakkan hukum Allah adalah orang-orang yang ber-KTP Islam.

Beberapa saat yang lalu saya merenungkan sistem pemerintahan kita, demokrasi, dan membandingkan dengan syariah Islam. Islam tidak bersistem demokrasi, inilah hasil renungan saya. Demokrasi adalah sebuah sistem pemerintahan dimana suara mayoritas adalah penentu kebijakan, termasuk hukum, langkah strategis, dan lain-lain. Apakah Islam mengijinkan kebijakan ditentukan oleh suara mayoritas rakyat? Al Quran menyatakan tidak.

Ingatkah kita mengenai sejarah yang tercatat dalam Al Quran, ketika Nabi Musa as harus menghadapi mayoritas bangsa Yahudi yang lebih memilih untuk menyembah sapi emas dibandingkan dengan Allah SWT? Apakah yang menjadi langkah Nabi Musa as ketika itu? Apakah Musa as menerima keinginan mayoritas bangsa Yahudi sebagai hasil konsensus masyarakat secara umum?

Lalu ingatkah kita dengan sejarah para nabi as ketika harus berhadapan dengan kaumnya yang melakukan kebiadaban di muka bumi? Kota Sodom, jazirah Arab, Mesir dan para Firaun-nya, dan lain sebagainya. Secara umum dapat kita saksikan kalau hukum Allah ditegakkan bertentangan dengan hukum yang diterima sebagai konsensus masyrakat mayoritas. Jika saja Islam adalah agama yang berdemokrasi, maka sudah sejak lama hukum Allah hilang dari muka bumi karena mayoritas kaum Qurays menolak Rasulullah SAW.

Kenyataannya adalah hukum Allah turun untuk manusia, agar manusia terhindar dari kebodohan, kebiadaban, kejahilan, dan kerusakan yang ditimbulkan oleh diri mereka sendiri. Sebagaimana para malaikat pernah mengingatkan kita dan tercatat dalam ayat-ayat Al Quran, manusia memiliki potensi untuk menimbulkan kerusakan, JIKA tanpa ada arahan dari Allah SWT secara langsung. Dan hukum Allah yang diturunkan kepada kita adalah bentuk intervensi Allah SWT dalam rangka menjaga hal tersebut. Mungkin ini termasuk dalam jawaban Allah SWT kepada para malaikat bahwa Allah SWT mengetahui apa yang tidak mereka ketahui. SubhanaLLah walhamduliLLah waLLahu akbar.

Lalu kenapa Indonesia dengan mayoritas penduduk Muslim malah memilih demokrasi diatas hukum Allah?

Pancasila, sebuah ideologi yang mendasari segala sesuatunya di Negara ini. Sebuah ideologi kerakyatan yang mengakui ke-Esa-an Tuhan, dan juga sebagai bentuk toleransi umat beragama. Benarkah demikian? Apakah Islam membutuhkan paham atau ideologi lain untuk menyempurnakan sifat toleransi yang dikandungnya? Tentu tidak. Islam sudah memiliki nilai-nilai toleransi jauh sebelum ada konvensi internasional mengenai hak asasi manusia. Lalu apa yang menyebabkan Allah SWT digeser dengan sebuah ideologi Pancasila yang tidak hanya mengakui Allah SWT sebagai Tuhan Yang Maha Esa, namun juga Yesus Kristus, Dewa Wisnu, Dewa Krisna dan lain sebagainya? Bukankah ini adalah bentuk kesyirikan terhadap Allah SWT?

Teman-teman semuanya. Apa yang saya sampaikan disini adalah sebuah bentuk keprihatinan terhadap kondisi masyarakat Indonesia yang dapat dinyatakan sebagai masyarakat yang jahil. Sebuah masyarakat yang jauh dari nilai-nilai Islam dan hukum Allah SWT. Sebuah masyarakat yang lebih mengutamakan suara kebanyakan orang dibandingkan dengan suara kebenaran. Sebuah masyarakat yang menjauhi ulama karena melaksanakan sunnah Nabi. Sebuah masyarakat yang lebih memilih untuk mengakui banyak tuhan dengan mengatasnamakan toleransi.

AstagfiruLLah. AstagfiruLLah. AstagfiruLLah.

Sampai kapan kita akan terus begini, wahai saudara seagama? Tidakkah kita takut dengan apa yang akan ditanyakan Allah SWT perihal pertanggungjawaban kita kelak? Apa yang telah kita lakukan untuk mengubah semua ini, wahai saudara seagama? Sudahkan kita berupaya menegakkan apa yang tertuang dalam Al Quran dan As Sunnah? Bukan hanya untuk pribadi saja. Bukan untuk keluarga saja. Bukan kepada tentangga saja. Tapi untuk Negara sebagai sebuah jamaah.

Laa haula walaa quwwata illa biLLah.

Salam,
Stephanus Iqbal

Sabtu, 10 April 2010

Mempertanyakan Hakikat Pernikahan dalam Islam

Topik ini muncul dalam pikiran saya selama beberapa waktu belakangan ini. Dapat dikatakan dipicu oleh salah satu diskusi saya dengan kaum atheis dan Kristen Barat mengenai pernikahan. Selain itu, saya baru saja melangsungkan pernikahan saya pada bulan Januari kemarin sehingga topik ini terus melekat dalam pemikiran saya. Perlu saya tegaskan kalau semua poin yang ada dalam tulisan ini adalah hasil pemikiran saya semata, sehingga sudah pasti memiliki banyak kekurangan.

Kaum atheis menilai kalau pernikahan adalah sebuah ikatan hubungan secara hukum, yang menyatakan kalau sepasang manusia sedang menjalani sebuah bahtera rumah tangga. Ini adalah apa yang saya tangkap dari deskripsi mereka mengenai pernikahan. Cinta menjadi satu hal mutlak untuk dimiliki sebagai landasan pernikahan. Bahkan lebih radikal lagi, mereka juga menganggap pernikahan sebenarnya tidak perlu dilakukan, dan bahwa pernikahan hanyalah selembar kertas. Argumen yang biasa mereka lontarkan adalah tanpa selembar kertas pernikahan pun, sebuah komitmen tetap dapat dijalankan.

Bagi umat Kristen, pernikahan menjadi jauh lebih rancu lagi. Alkitab mereka tidak mengatur pernikahan sebagaimana Al Quran mengatur mengenai pernikahan. Akibatnya, mereka tidak memiliki deskripsi yang pasti mengenai pernikahan itu seperti apa. Beberapa yang dapat mereka uraikan mengenai pernikahan adalah :
1. Penikahan adalah penggabungan antara seorang pria dengan wanita dalam ikatan agama.
2. Monogami.
3. Harus dilandaskan oleh cinta.
4. Disahkan oleh Gereja dan Negara.

Kesamaan yang saya lihat dari kedua kaum ini dalam memandang pernikahan adalah :

PERTAMA, bahwa pernikahan dilihat sebagai sebuah institusi yang HARUS diawali dengan cinta. Cinta bukan ditempatkan sebagai dasar landasan pernikahan, namun menjadi sebuah syarat dari prosesi pernikahan. Pernikahan tanpa dimulai dengan cinta adalah sebuah pernikahan yang tertekan, kuno, dan tradisional.

KEDUA, penolakan terhadap poligami sebagai perwujudan dari pola pemikiran bahwa pernikahan harus diawali dengan cinta. Dan cinta tidak dapat mendua. Karena itu, jika seseorang berpoligami maka seakan-akan moral orang tersebut cacat tanpa melihat lebih jauh mengenai alasan dan konsep pernikahan poligami yang dijalankan oleh orang tersebut.

KETIGA, bahwa pernikahan harus mendapatkan legitimasi dari Negara. Artinya tanpa pengesahan yang dilakukan oleh Negara, maka pernikahan tidak dapat dikatakan sah. Mungkin pemikiran semacam ini terpengaruh oleh budaya sekuler yang berkembang di pemikiran Barat.

KEEMPAT, baik kaum Kristiani maupun kaum atheis tidak memiliki pandangan yang wajar mengenai seks dan pernikahan. Kaum atheis menilai seks hanya sebagai sebuah aktivitas normal yang dilakukan manusia. Sedangkan kaum Kristiani tidak memiliki panduan yang memadai dalam ajaran agama mereka mengenai seks. Dalam ajaran agama mereka, selibat masih dapat lebih dihargai dibandingkan dengan memenuhi kebutuhan seks mereka. Untuk pasangan yang sudah menikah pun, seks masih dilihat sebagai satu hal yang dijalankan dengan tujuan prokreasi semata, tanpa mengindahkan kebutuhan manusia terhadap sebuah kepuasan seksual.

Nah, dari poin-poin diatas, saya melihat ada sebuah pergeseran paradigma dalam melihat pernikahan. Dan yang sangat disayangkan adalah pergeseran paradigma ini juga menjangkit umat Islam.

Ciri-ciri dari terjangkitnya umat Islam yang dapat kita temukan dalam masyarakat Muslim di seluruh dunia saat ini, terutama pada kaum muda. Pernyataan saya barusan jelas merupakan generalisasi belaka. Namun mayoritas umat Islam memiliki pemikiran yang hampir sama dengan kedua kaum yang saya bahas diatas. Pernikahan menjadi wajib diawali dengan cinta, pernikahan poligami dinilai sebagai sebuah kecacatan moral, pernikahan merupakan institusi dibawah naungan Negara, dan memiliki penilaian yang menyimpang mengenai seks.

Mengapa saya mengatakan kalau fenomena ini adalah merupakan sebuah pergeseran paradigma? Karena sebelumnya paradigma mengenai pernikahan tidaklah seperti ini. Terutama dalam Islam. Dibawah ini saya akan berusaha memaparkan pemikiran saya mengenai hal ini.

Cinta hanyalah sebuah emosi belaka, dan adalah bodoh jika sebuah pernikahan harus diawali dengan sebuah emosi yang sifatnya fana. Karena sebagaimana bentuk emosi yang lainnya, seperti amarah, sedih, cemburu, dan sebagainya, cinta akan sirna dan pudar jika tidak dilandasi dengan sesuatu yang lebih kuat sebagai pondasi. Seandainya dibuatkan sebuah data statistik mengenai pernikahan dan perceraian, hampir dapat dipastikan kalau pernikahan dengan awal cinta akan memiliki resiko yang lebih besar terhadap perceraian dan perselingkuhan.

Pemikiran kaum atheis dan Kristen seakan-akan lupa atau sengaja melupakan, kalau pernikahan adalah sebuah ibadah. Hakikat sebuah pernikahan adalah sebuah peribadahan yang ditujukan kepada Allah SWT. Dan inilah yang seharusnya menjadi sebuah dasar dan landasan sebuah pernikahan. Niat untuk beribadah kepada Allah SWT adalah suatu hal yang mutlak bagi pasangan yang hendak menikah, sama sekali BUKAN cinta. Jadi alasan seorang Muslim memutuskan untuk menikah bukanlah cinta semata, namun merupakan sebuah niatan ibadah kepada Allah SWT yang menjadikan pernikahan mereka bukan sembarangan hal untuk dijalani.

Dengan pengertian diatas, poligami menjadi sebuah pilihan yang terbuka dalam Islam. Ada ladang ibadah yang sangat banyak dalam sebuah pernikahan poligami yang sesuai dengan syariah Islam.

Dalam Islam dinyatakan kalau pernikahan adalah setengah agama. Kenapa dikatakan demikian? Karena setelah menikah, semua pengertian, kasih sayang, cinta, perhatian, pengampunan, dan lainnya yang diberikan suami/isteri kepada pasangannya adalah merupakan sebuah amalan ibadah. Perhitungan pahala dan dosa menjadi sebuah perhitungan yang tanpa henti dalam sebuah pernikahan. Dan ini adalah sebuah konsep yang hilang dari pemahaman kaum atheis dan kaum Kristiani terhadap pernikahan, dan kini mulai menjangkiti kaum Muslim.

Menurut pemahaman saya yang masih dangkal mengenai Islam, pernikahan adalah sebuah institusi agama, sama sekali BUKAN sebuah institusi Negara. Negara memiliki hak untuk mendata warga negara, sehingga dapat saja dibuatkan aturan pendaftaran pernikahan kepada lembaga pemerintahan. Namun Negara tidak memiliki hak untuk menentukan absah atau tidaknya sebuah pernikahan. Karena memang pernikahan adalah institusi agama, maka adalah lembaga agama-lah yang memiliki hak mutlak untuk menentukan keabsahan sebuah pernikahan. Tentu berlandaskan pada aturan-aturan yang berlaku dalam masing-masing agama.

Sekali lagi, bahayanya pergeseran paradigma ini mulai menjangkiti umat Muslim di seluruh dunia. Darimana bisa umat Muslim dijangkiti dengan pergeseran paradigma ini? Dari propaganda yang disebarkan oleh dunia Barat. Coba anda perhatikan tontonan kartun dan sinetron yang anak anda konsumsi. Cinderella, Snow White, Princess and the Frog, Mickey Mouse, dan lain sebagainya. Semua tontonan kartun ini menanamkan sebuah pemahaman yang salah mengenai pernikahan, cinta dan seks. Ketika menonton kartun-kartun ini, anak-anak kita dibentuk pemikiran mereka mengenai cinta, pernikahan, dan seks secara gamblang tanpa kita sadari.

Pernahkan anda menemui seorang anak SD berumur 7-8 tahun yang berbicara mengenai pacaran dan lain sebagainya? Ini adalah sebuah bukti propaganda pencucian otak yang dilakukan untuk menggeser paradigma berpikir terhadap nilai-nilai dan norma-norma.

Salam,
Stephanus Iqbal