Selasa, 27 April 2010

Sebuah Sudut Pandang Mengenai Demokrasi dan Pancasila

Bagaimanakah kita memandang sistem pemerintahan Negara kita ini? Sebuah pemerintahan berdemokrasi dan berPancasila ini berdiri sejak 60 tahunan yang lalu, dengan mayoritas penduduk umat Muslim. Jumlah Muslim yang hidup berkebangsaan dan berkenegaraan di Indonesia melebihi 70% dari jumlah keseluruhan penduduk negeri ini.

Saya melihat ada suatu masalah disini. Ketika Muslim berkumpul sebagai sebuah jamaah, hukum apa yang paling tepat untuk digunakan? Apakah hukum konsensus manusia sebagai UUD 1945 yang kita miliki sekarang ini? Ataukah hukum Allah yang tertuang dalam Al Quran dan As Sunnah? Hal ini menjadi dilematis bagi beberapa golongan, karena justru orang-orang yang menolak penegakkan hukum Allah adalah orang-orang yang ber-KTP Islam.

Beberapa saat yang lalu saya merenungkan sistem pemerintahan kita, demokrasi, dan membandingkan dengan syariah Islam. Islam tidak bersistem demokrasi, inilah hasil renungan saya. Demokrasi adalah sebuah sistem pemerintahan dimana suara mayoritas adalah penentu kebijakan, termasuk hukum, langkah strategis, dan lain-lain. Apakah Islam mengijinkan kebijakan ditentukan oleh suara mayoritas rakyat? Al Quran menyatakan tidak.

Ingatkah kita mengenai sejarah yang tercatat dalam Al Quran, ketika Nabi Musa as harus menghadapi mayoritas bangsa Yahudi yang lebih memilih untuk menyembah sapi emas dibandingkan dengan Allah SWT? Apakah yang menjadi langkah Nabi Musa as ketika itu? Apakah Musa as menerima keinginan mayoritas bangsa Yahudi sebagai hasil konsensus masyarakat secara umum?

Lalu ingatkah kita dengan sejarah para nabi as ketika harus berhadapan dengan kaumnya yang melakukan kebiadaban di muka bumi? Kota Sodom, jazirah Arab, Mesir dan para Firaun-nya, dan lain sebagainya. Secara umum dapat kita saksikan kalau hukum Allah ditegakkan bertentangan dengan hukum yang diterima sebagai konsensus masyrakat mayoritas. Jika saja Islam adalah agama yang berdemokrasi, maka sudah sejak lama hukum Allah hilang dari muka bumi karena mayoritas kaum Qurays menolak Rasulullah SAW.

Kenyataannya adalah hukum Allah turun untuk manusia, agar manusia terhindar dari kebodohan, kebiadaban, kejahilan, dan kerusakan yang ditimbulkan oleh diri mereka sendiri. Sebagaimana para malaikat pernah mengingatkan kita dan tercatat dalam ayat-ayat Al Quran, manusia memiliki potensi untuk menimbulkan kerusakan, JIKA tanpa ada arahan dari Allah SWT secara langsung. Dan hukum Allah yang diturunkan kepada kita adalah bentuk intervensi Allah SWT dalam rangka menjaga hal tersebut. Mungkin ini termasuk dalam jawaban Allah SWT kepada para malaikat bahwa Allah SWT mengetahui apa yang tidak mereka ketahui. SubhanaLLah walhamduliLLah waLLahu akbar.

Lalu kenapa Indonesia dengan mayoritas penduduk Muslim malah memilih demokrasi diatas hukum Allah?

Pancasila, sebuah ideologi yang mendasari segala sesuatunya di Negara ini. Sebuah ideologi kerakyatan yang mengakui ke-Esa-an Tuhan, dan juga sebagai bentuk toleransi umat beragama. Benarkah demikian? Apakah Islam membutuhkan paham atau ideologi lain untuk menyempurnakan sifat toleransi yang dikandungnya? Tentu tidak. Islam sudah memiliki nilai-nilai toleransi jauh sebelum ada konvensi internasional mengenai hak asasi manusia. Lalu apa yang menyebabkan Allah SWT digeser dengan sebuah ideologi Pancasila yang tidak hanya mengakui Allah SWT sebagai Tuhan Yang Maha Esa, namun juga Yesus Kristus, Dewa Wisnu, Dewa Krisna dan lain sebagainya? Bukankah ini adalah bentuk kesyirikan terhadap Allah SWT?

Teman-teman semuanya. Apa yang saya sampaikan disini adalah sebuah bentuk keprihatinan terhadap kondisi masyarakat Indonesia yang dapat dinyatakan sebagai masyarakat yang jahil. Sebuah masyarakat yang jauh dari nilai-nilai Islam dan hukum Allah SWT. Sebuah masyarakat yang lebih mengutamakan suara kebanyakan orang dibandingkan dengan suara kebenaran. Sebuah masyarakat yang menjauhi ulama karena melaksanakan sunnah Nabi. Sebuah masyarakat yang lebih memilih untuk mengakui banyak tuhan dengan mengatasnamakan toleransi.

AstagfiruLLah. AstagfiruLLah. AstagfiruLLah.

Sampai kapan kita akan terus begini, wahai saudara seagama? Tidakkah kita takut dengan apa yang akan ditanyakan Allah SWT perihal pertanggungjawaban kita kelak? Apa yang telah kita lakukan untuk mengubah semua ini, wahai saudara seagama? Sudahkan kita berupaya menegakkan apa yang tertuang dalam Al Quran dan As Sunnah? Bukan hanya untuk pribadi saja. Bukan untuk keluarga saja. Bukan kepada tentangga saja. Tapi untuk Negara sebagai sebuah jamaah.

Laa haula walaa quwwata illa biLLah.

Salam,
Stephanus Iqbal

Tidak ada komentar: