Jumat, 26 Februari 2010

Tokoh-tokoh Kristen Penentang Trinitas

Sebelum Yesus lahir, wilayah Yerusalem dijajah oleh imperium Romawi yang agamanya beraliran politeisme. Karena sebagai penduduk yang terjajah, bangsa Yahudi Essenes yang masih taat berpegang pada hukum-hukum Taurat Musa, tidak mampu mengembangkan ajaran agamanya di tengah-tengah masyarakat. Sedangkan Yahudi Farisi dan Saduki memakai agamanya dalam bentuk formalitas saja, dan sikap hidupnya selalu menyalahi hokum-hukum taurat.

Ketika Yesus mendapat tugas menyampaikan risalah Tuhan, dia selalu memperingatkan penyelewengan Yahudi Farisi dan Saduki. Oleh karena itu dua kelompok ini sangat membenci Yesus dan ingin membunuhnya. Untuk melaksanakan niat jahat itu, mereka menghasut penjajah Romawi, bahwa Yesus adalah tokoh pemberontak yang ingin menjadi raja Yahudi, dan ingin membebaskan bangsanya dari pendudukan imperium Romawi. Dengan bantuan kedua kelompok Yahudi itu, tentara Romawi berusaha menangkap Yesus dan membinasakan pengikutnya.

Setelah Yesus tiada, para muridnya menyebarkan ajarannya secara meluas ke tengah-tengah masyarakat yang sudah terpengaruh oleh kepercayaan politeisme. Yang kemudian melahirkan dua kelompok penganut Yesus. Pertama, yang betul-betul mengikuti ajaran Yesus secara murni, tanpa dicampuri oleh kepercayaan politeisme. Mereka berkeyakinan bahwa satu-satunya Tuhan hanyalah Allah, dan Yesus adalah manusia biasa utusan Allah. Kelompok ini lebih dikenal dengan sebutan Unitarian. Kedua, mengikuti ajaran Yesus yang telah disebarkan oleh para muridnya, tetapi masih sulit meninggalkan kepercayaan politeisme yang sudah mendarah daging pada diri mereka. Akhirnya mereka mengkultuskan Yesus sebagai penyelamatnya, bahkan diangkat menjadi Tuhannya. Kelompok ini dipelopori oleh Paulus (Saulus) yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan Kristen Trinitas.

Proses kepercayaan kelompok kedua ini sudah menjadi fenomena biasa bagi yang mudah kita jumpai di mana-mana. Perjalanan kepercayaan Kristen Trinitas periode pertama, mendapatkan tantangan hebat dari kelompok Kristen Unitarian. Yaitu sekte Kristen yang berkeyakinan bahwa Allah adalah satu-satunya Tuhan yang patut disembah, dan Yesus adalah manusia biasa yang diberi tugas oleh Allah untuk menyampaikan ajaran-ajaranNya, dengan dibekali beberapa Mukjizat. Berkat bantuan imperium super power Romawi yang juga beragama politeisme itu, agama Kristen Trinitas cepat menyebar luas ke beberapa negara. Sedangkan beberapa ribu penganut Unitarian disiksa dan dibunuh. Di antara tokoh-tokoh Unitarian tersebut adalah :

IRANAEUS (130 – 200 M)
Ketika Iraneus lahir, agama Kristen yang berpusat di Antiokia telah menyebar ke Afrika Utara sampai ke Spanyol dan Perancis selatan. Uskup Lyon yang bernama Pothinus pernah menyuruh Iranaeus membawakan surat petisinya ke Paus Eleutherus (174 189 M) di Roma. Dalam petisi itu, Pothinus memohon agar Paus menghentikan pembunuhan terhadap orang-orang Kristen yang menolak doktrin Trinitas. Disaat Iranaeus masih berada di Roma, dia mendengarkan berita pertikaian antar kelompok Kristen yang mengakibatkan Uskup Pothinus terbunuh. Setelah pulang ke Lyon, dia menjadi uskup menggantikan Pothinus.

Tahun 190 M, dia menulis surat kepada Paus Victor I (189 – 198 M) untuk menghentikan pembunuhan terhadap orang-orang Kristen yang berbeda keyakinan. Kerusuhan antar kelompok terulang lagi, dan pada tahun 200 M, dia dibunuh kelompok Trinitas yang dipelopori Paus Victor.

Iranaeus meyakini bahwa Yesus bukanlah Tuhan, melainkan manusia biasa yang diutus oleh Allah. Dia melontarkan kritik tajam terhadap Paulus, dan menudingnya sebagai orang yang bertanggung jawab atas penyusupan ajaran-ajaran politeisme dan filsafat Plato ke dalam agama Kristen. Dalam menyampaikan ajaran yang diyakininya, Iranaeus sering mengutip ayat-ayat yang termaktub dalam injil Barbanabas.

TERTULIAN (160 – 220 M)
Tertulian berasal dari Kartago, kemudian dia menjadi tokoh Gereja Afrika. Dia adalah seorang Unitarian yang mengidentikkan Yesus dengan Meisah dalam agama Yahudi. Beliau menentang Paus Calixtus (217 – 222 M) yang mengajarkan bahwa dosa besar itu bisa diampuni setelah melakukan taubat secara kanonik.

Diantara pernyataan Tertulian masih tercatat sampai sekarang adalah :”Mayoritas manusia berpendapat bahwa Yesus adalah manusia biasa”. Dialah yang mula-mula memperkenalkan istilah Trinitas dsari bahasa latin sewaktu membahas doktrin yang dipandangnya aneh itu. Sebab istilah seperti itu tidak pernah dijumpai dalam kitab suci.

ORIGEN (185 – 254 M)
Origen lahir di Iskandariah Mesir. Bapaknya, Leonidas, mendirikan pusat pendidikan teologi, dan menunjuk Clement sebagai kepalanya. Gereja Paulus (Trinitas) sangat membenci Leonidas, karena menganut ajaran Unitarian yang disebarkan oleh murid-murid Yesus (Apostolic Christianity), dan menolak ajaran-ajaran Paulus. Oleh karena itu pihak gereja Paulus membunuhnya pada tahun 208 M. Peristiwa itu sangat menggores di hati Origen, dan ia ingin mempertaruhkan nyawanya untuk menuntut kematian ayahnya, namun dicegah oleh ibunya.

Gurunya, Clement, merasa terancam dan meninggalkan Iskandariah. Karena ayahnya terbunuh dan gurunya meninggalkan dia, Origen menggantikan Clement sebagai kepala sekolah teologi. Dalam kedudukannya yang baru itu, dia terkenal sebagai cendekiawan yang berani. Kesalehan dan semangatnya yang tinggi diilhami oleh sebuah ayat yang termaktub dalam kitab Matius 19;12 yang berbunyi :
“Ada orang yang tidak dapat kawin karena memang ia lahir demikian dari rahim ibunya, dan ada orang yang dijadikan demikian oleh orang lain, dan ada orang yang membuat dirinya demikian karena kemauannya sendiri oleh karena kerajaan Sorga. Siapa yang dapat ,mengerti hendaklah mengerti”.

Pada tahun 230 M Origen menjadi pengkhotbah di Palestina. Tetapi Uskup Demerius memecat dan membuangnya. Dia pergi ke Caesarea dan membangun pusat pendidikan yang sangat terkenal di kota itu. Konsili Iskandaria tahun 250 M menjatuhkan kutukan kepada Origen. Dia ditangkap dan menjalani siksaan sampai menemui ajalnya tahun 254 M, karena menolak doktrin Trinitas. Origen berkeyakinan, Allah adalah Maha Agung dan Yesus adalah hambaNya yang derajatnya tidak sebanding dengan Tuhannya.

Dia dikenal sebagai ahli sejarah gereja yang termashur. Sejak muda sampai akhir hayatnya terkenal keberaninnya. Memiliki sifat-sifat terpuji sebagai guru kebenaran dan sangat dicintai oleh murid-muridnya. Ilmu pengetahuannya sangat luas, yang tidak ada duanya di kalangan Kristen saat itu. Dia pernah menulis kurang lebih enam ratus risalah dan makalah.

DIODORUS
Diodorus adalah uskup di Tarsus, kota kelahiran Paulus. Dia termasuk salah satu tokoh Kristen Antiokia. Dia berpendapat, alam semesta ini selaludalam perubahan. Dia proses perubahan itu pasti ada periode awalnya yang berasal dari yang Maha Abadi dan Maha tidak Berubah. Yang Maha Abadi itulah sang Pencipta yang Maha Esa. Diodorus menegaskan, Yesus itu berkodrat manusiawi baik ruhani maupun jasmani, dan sama sekali tidak memiliki kodrat Ilahi (Tuhan)

LUCIUS (Wafat 312 M)
Disamping terkenal sebagai ahli teologi yang menguasai bahasa Ibrani dan Yunani, diapun sebagai tokoh yang sangat taat kepada Allah. Dia berada di luar lingkungan Gereja sejak tahun 220 M sampai tahun 290 M. Kesalehan dan luasnya ilmu pengetahuan yang dimilikinya, mengundang kekaguman banyak orang. Perguruan di Antiokia yang dipimpinnya, melahirkan aliran Arianisme yang dicetuskan oleh muridnya yang bernama Arius.

Dalam memahami kitab sucinya, dia berpegang pada penafsiran dariu segi tata bahasa beserta pengertiannya secara lahiriah dan kritis. Dia menentang penafsiran yang diambil dari pengertian simbolik dan allegoris.

Lucius berpendapat, adanya pertentangan paham yang sangat tajam di tubuh Gereja telah membuktikan, bahwa orang-orang Kristen berpedoman pada ajaran yang bersumber dari tradisi tulisan dan mengesampingkan tradisi lisan. Padahal Yesus atau para muridnya tidak pernah mencatat ajaran Yesus. Sedangkan tradisi tulisan berasal dari orang-orang yang tidak pernah menjadi murid Yesus. Tragedi ini menunjukkan, ajaran Yesus begitu cepat lenyap disebabkan kekacauan isi ajaran yang berkembang sampai penghujung abad ketiga Masehi.

Lucius merevisi Septuaginta, yakni naskah Alkitab berbahasa Yunani. Dia membunag sekian banyak perubahan-perubahan yang disisipkan ke dalam Alkitab, ketika disalin ke dalam bahasa Yunani. Dia berkeyakinan bahwa Yesus itu bukan Tuhan, melainkan hamba Allah. Karena tetap mempertahankan keyakinan seperti itu, maka dia ditangkap dan disiksa sampai mati pada tahun 312 M.

ARIUS (925- - 336 M)

Kehidupan Arius sangat erat kaitannya dengan Constantin, kaisar imperium Romawi. Sehingga kita tidak bisa memahami sejarah kehidupan salah satunya, tanpa memahami orang satunya lagi. Kisah Constantin menaruh perhatiannya kepada gereja berawal dari kekhawatirannya terhadap kedudukannya di Roma. Kaisar ini merasa cemburu terhadap putra mahkota bernama Crispus. Putra ini sangat termashur, karena posturnya yang menawan dan sikapnya yang ramah, disertai keberaniannya di medan pertempuran. Agar namanya tetap bertahan sebagai figure kaisar Romawi, dan tidak tenggelam oleh ketenaran nama putra mahkotanya, maka Constantin membunuh Crispus. Kematiannya menimbulkan duka rakyat Romawi. Dibalik pembunuhan itu, ada berita bahwa ibu tiri putra mahkota itu menginginkan putra kandungnya sendiri yang akan menjadi kaisar, sehingga dia berniat untuk menghabisi Crispus. Akhirnya Constantin menjatuhi hukuman mati kepada ibu tiri itu dengan membenamkannya ke dalam air mendidih. Para pendukung permaisuri yang mati itu bergabung dengan para pecinta putra mahkota menuntut atas kematian kedua orang itu. Constantin dalam posisi tersudut dan meminta bantuanpendeta kuil Yupiter di Roma. Tetapi para pendeta itu mengatakan, tidak ada kebaktian atau korban yang bisa menghapus dosa pembunuhan yang telah dilakukannya. Suasana yang tegang di Roma membikin dia tidak tentram, sehingga Constantin pergi ke Bizantium.

Setelah tiba di sana, dia mengubah nama kota di pinggir selat Bosporus itu sesuai dengan namanya, Constantinopel. Di tempat baru itulah dia melihat perkembangan gereja Paulus sangat menakjubkan. Constantin mendapat pelajaran, bahwa bila dia mau bertobat dan mengakui dosanya di Gereja, maka dosa itu akan diampuni. Kesempatan ini dipergunakan sebaik-baiknya untuk membersihkan nama dan tangannya yang telah dikotori lumuran darah dua pembunuhan dan keputusan-keputusan jahat selama dia berkuasa. Setelah merasa terbebas dari beban dosa, dia pun mencurahkan pikirannya untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapi oleh imperiumnya. Dia melihat adanya kemungkinan memperalat gereja untuk meraih tujuannya dan menunjukkan loyalitasnya, dengan cara memberi kebebasan kepada Gereja untuk berkembang, yang sebelumnya telah ditindas dan dibinasakan oleh Kaisar Diolektianus (284 – 305 M). Berkat dukungan Constantin inilah perkembangan gereja semakin kuat dan pesat. Sebaliknya dia mendapatkan keuntungan yang besar, karena wilayah sekitar Laut Tengah dipenuhi oleh Gereja, yang pemeluknya dapat dipergunakan untuk mendukungnya di medan perang. Bantuan pendeta merupakan factor yang sangat penting untuk menyatukan Eropa dan Timur Tengah di bawah kekuasaan Constantin. Karena rasa terima kasih kepada Gereja disatu sisi, dan ingin menyudutkan para pendeta kuil Yupiter di Roma yang tidak mau membantunya, pada sisi lainnya, dia mengajak Uskup Roma untuk membangun greja yang besar dan megah di kota Roma. Dari posisi terjepit di kota itu, agama Kristen kemudia diberi fasilitas-fasilitas yang luar biasa oleh Constantin. Di samping itu dia membiayai pembangunan gereja yang besar dan megah di bukit Zion, Yerusalem.

Walaupun dia telah memberikan bantuan besar dan masuk agama Kristen, tetapi dia belum pernah dibaptis, sebab pengaruh agama Paganisme yang menyembah dewa Yupiter dan dewa-dewi lainnya masih sangat dominan. Oleh karena itu Constantin bersikap menjaga keseimbangan, yang kadangkala dia menampakkan diri seakan-akan sebagai pemuja dewa itu. Sikap seperti itu berlangsung cukup lama sampai meledaknya pertentangan di tubuh Kristen, antara sekte Pauline Church (Gereja Paulus) yang bertuhan Trinitas dengan sekte Apostolic Church (Gereja Rasuli) yang menganut paham Unitarian.

Tokoh terkemuka sekte Unitarian waktu itu adalah Arius, salah seorang Dewan Gereja yang sangat terkenal dalam sejarah dunia Kristen. Dia lahir di Libya dan belajar di perguruan Antiokia yang dinina oleh Lucius. Ia merupakankekuatan baru bagi gereja rasuli yang menghidupkan dan mempertahankan ajaran Yesus yang murni, dengan semboyan ; ”Ikutilah Yesus menurut yang diajarkan olehnya”, serta menentang ajaran-ajaran Kristen yang diciptakan oleh Paulus. Keagungan nama Arius pada masa itu dapat dilihat dari namanya yang sampai sekarang disinonimkan dengan sekte Unitarianisme, yakni aliran yang meyakini bahwa satu-satunya Tuhan hanyalah Allah, dan Yesus adalah hamba dan utusan Allah.

Gereja Paulus menerima pukulan telak ari pihak Arius. Mereka mengakui, Arius bukan hanya seorang ahli perencana saja, melainkan juga sebagai orang yang jujur dan tidak pernah melakukan perbuatan tercela. Pada saat Tradisi Lisan (oral tradition) – yang mempertahankan ajaran Yesus – mulai lumpuh, dibarengi dengan pemahaman Tradisi Tulisan semakin menyimpang jauh, maka arius tampil dengan segala keberanian dan kegigihannya mempertahankan ajaran Yesus yang telah disampaikan oleh para muridnya secara murni, serta menentang persekutuan pihak gereja dengan kaisar Constantin.

Arius adalah murid Lucian yang paling keras mengecam gereja Paulus. Oleh karena dia selalu diincar pembunuhan oleh aliran Trinitas. Arius menyadari akan bahaya yang mengancamjiwanya. Walaupun riwayat hidup masa mudanya tidak begitu jelas, tetapi dia tercatat menjadi tokoh gereja Becaulis Iskandariah.

Sampai pada masa Konsili Nicea tahun 325 M, perbedaan keyakinan di kalangan Kristen sangat beragam. Karena kepercayaan di kalangan Kristen sangat beragam. Karena kepercayaan berdasarkan kemauan dan pilihan masing-masing individu. Sebelum gereja mendapatkan kebebasan dari imperium Romawi, perbedaan keyakinan itu menimbulkan pertentangan sengit, yang pada akhirnya mengakibatkan pertikaian antar kelompok Kristen. Bahkan sering terjadi penangkapan, penyiksaan, malah pembunuhan gelap.

Ketika Constantin menjalin aliansi dengan gereja, terjadilah perubahan dramatis. Meskipun waktu itu Constantin masih menjabat kepala negara yang penduduknya mayoritas menganut Paganisme, tetapi secara terbuka memberi bantuan kepada gereja, yang pada masa itu mungkin perbedaan antara Pauline Church dengan Apostolic Church belum begitu tajam. Dengan demikian, agama Kristen memperoleh kedudukan baru di bawah naungan kaisar Romawi. Bagi kebanyakan orang, perkembangan Kristen seperti ini menimbulkan masalah politik. Sebagian orang yang dulunya menentang agama itu, berbalik mendukungnya karena mendapat tekanan dari pemerintah. Oleh karena itu mereka memeluk agama Kristen bukan karena panggilan hati nuraninya, melainkan karena tujuan-tujuan tertentu. Perubahan situasi itu sangat menguntungkanpihak Kristen. Gereja Paulus dan Gereja Rasuli masing-masing berkembang pesat ke seluruh wilayah imperium Romawi, mengakibatkan pertentangan kedua sekte itu semakin tajam di setiap daerah.

Constantin yang pada waktu itu masih belum memahami agama Kristen, hanya ingin mendapatkan keuntungan politis bila tercipta kesatuan gereja yang tunduk padanya, dan berpusat di Roma, bukan Yerusalem. Ketika para jemaat gereja Rasuli (Apostolic Church) menolak untuk memenuhi keinginan kaisar itu, Constantin berusaha melakukan tekanan-tekanan terhadap mereka. Tetapi setiap tekanan itu tidak mendatangkan hasil yang diharapkan. Para jemaat gereja Rasuli yang menganut faham Unitarian itu tetap menolak untuk tunduk kepada Uskup Roma.

Pertentangan semakin tajam mengenai pokok-pokok keyakinan di dalam agama Kristen. Sementara itu doktrin Trinitas telah diterima sepenuhnya oleh pihak-pihak tertentu dalam dunia Kristen. Sedangkan pihak Donatus, Melitus, terutama Arius menentang doktrin tersebut. Setelah lebi dari dua abad, doktrin itu menjadi bahan perdebatan, tidak ada pihak yang bisa memberikan penjelasan dan penafsiran yang memuaskan. Karena banyak fihak yang menentangnya, semakin banyak membutuhkan penjelasan dan difinisi dogma itu. Pihak gereja harus memberikan difinisi tentang kodrat kemanusiaan dan kodrat ketuhanan Yesus. Serta memberikan penjelasan mengenai hubungan oknum yang satu dengan oknum lainnya dalam Trinitas. Gereja harus menunjukkan difinisi yang akurat mengenai hubungan ketuhanan Yesus dengan perawan Maria, ibunya. Karena setiap orang Kristen selalu dihadapkan pada sekian banyak problem dogma Trinitas, maka surat pertanyaan yang dikirim kepada pihak Paus di Roma semakin menggunung.

Surat jawaban dari Paus ternyata tidak bisa memberikan kepuasan bagi semua pihak. Arius tampil mengajukan tantangannya kepada pihak Paus untuk memberikan difinisi yang logis dan rasional mengenai doktrin Trinitas. Arius sendiri memberikan penjelasan sebagai berikut :
“Jika Yesus itu sebagai anak Tuhan, berarti Bapa (Allah) harus ada terlebih dahulu dari pada Yesus. Justru sebelum ada anak (Yesus), harus ada jarak waktu. Dalam jarak waktu itu sang anak belum ada. Dengan demikian sudah pasti, bahwa anak (Yesus) itu dicipta oleh Allah dari esensi yang sebelumnya tidak ada. Oleh karena itu Yesus tidak sama dengan Bapa (Allah)”.

Kalangan gereja Trinitas merasa terjungkal. Patriarch Alexander mengundang dewan gereja untuk mempersoalkan pendapat Arius itu. Sekitar seratus uskup dari Mesir dan Libya menghadiri undangan itu untuk meminta pertanggung jawaban dari Arius. Untuk mempertahankan keyakinannya, Arius mengajukan argumentasi yang tidak bisa dibantah sebagai berikut :
“Ada suatu tempo, yang di dalam tempo waktu itu Yesus belum ada, sedang Allah bersifat Maha Dulu dan Maha Abadi. Karena Yesus adalah makhluk Allah, maka dia bersifat fana (tidak kekal), dan sudah tentu tidak memiliki sifat abadi. Karena Yesus itu makhluk, maka dia termasuk obyek bagi perubahan seperti makhluk berakal lainnya. Karena hanya Allah saja yang tidak berubah, maka Yesus bukanlah oknum Tuhan”

Disamping menggunakan logika, dia pun mengukuhkan argumentasinya dengan mengutip ayat-ayat Alkitab untuk membantah doktrin Trinistas seperti :
“Jika Yesus sendiri telah mengatakan : “Bapa lebih besar dari pada aku” (Matius 14:28), bagaimana kita bisa percaya bahwa Allah dan Yesus itu sama?. Kepercayaan seperti itu sangat bertentangan dengan sabda Yesus sendiri di dalam kitab suci”

Pendapat Arius ini tidak bisa dibantah oleh semua uskup yang hadir pada siding itu. Tetapi Patriarch Alexander, dengan menggunakan kekuatan jabatannya, menjatuhkan vonis “Hukuman Pengucilan Gereja” terhadap Arius.

Dalam tradisi gereja, siapa yang mendapat hokum pengucilan itu, tumpahan darahnya menjadi halal. Dan pembunuhnya akan mendapatkan surga, karena telah berjasa membasmi pembawa ajaran sesat !!. Tetapi Arius mempunyai banyak pengikut yang pengaruhnya sangat luas, dan tidak dapat dianggap enteng oleh pihak gereja Trinitas, apalagi para uskup Wilayah Timur tidak membenarkan vonis Patriarch Alexander itu.

Pertentangan masalah keyakinan ini semakin memuncak. Alexander berada pada posisi yang terjepit, bahkan sangat kecewa karena para uskup wilayah timur mendukung Arius. Terutama Eusebius Nicomedia (mati 342 M) sahabat Arius yang sangat berpengaruh di istana Constantinopel, dan Eusebius Caesarea (260 – 340 M) memberikan dukungan yang sangat besar kepada Arius. Dua orang ini dan Arius adalah murid Lucian. Pembunuhan gelap terhadap guru mereka, membuat hubungan ketiga murid itu semakin erat.

Sampai sekarang kita bisa melihat surat Arius yang dikirim kepada Eusebius Constantinopel, setelah dia dijatuhi vonis “hukuman pengucilan” dari Alexander. Diantara surat itu berbunyi :”Kami dihukum karena menyatakan, Yesus itu mempunyai permulaan, sedangkan Allah tidak mempunyai permulaan”

Catatan mengenai pertentangan tajam waktu itu, sangat sedikit sekali yang bisa kita jumpai. Surat-surat yang masih selamat, menunjukkan, Arius tabah mempertahankan ajaran Yesus yang murni dan yang bebas dari perubahan, dan sama sekali tidak menghendaki perpecahan dalam Kristen. Sedangkan kumpulan surat-surat Alexander memperlihatkan, penggunaan bahasa yang tidak sopan terhadap Arius dan para pendukungnya. Diantara surat-surat itu Alexander pernah menulis sebagai berikut : “Mereka sudah dikuasai iblis yang merasuk dalam diri mereka. Mereka adalah tukang sulap dan penipu yang cerdk merayu. Mereka kelompok penyamun yang hidup dalam persembunyian, yang siang malam mengutuki Kristus…mereka mendapatkan banyak pengikut dengan memperalat wanita tunasusila”

Surat yang bernada kasar itu membangkitkan kemarahan Eusebius. Beliau mengundang uskup-uskup wilayah timur untuk menjelaskan duduk persoalannya. Pertemuan para uskup itu menghasilkan keputusan untuk mengirim surat pada seluruh uskup wilayah timur dan barat, agar mendesak Patrirrch Alexander untuk mencabut hukuman yang dijatuhkan kepada Arius. Alexander mau mencabut vonisnya, asalkan Arius mau tunduk kepadanya. Syarat itu ditolak oleh Arius, dan ia pergi ke Palestina untuk membina jemaat Kristen di tempat iru. Alexander mengirimkan surat kecaman terhadap Arius dan Eusebius kepada seluruh pelayan-pelayan gereja Katolik. Alexander menuduh, Eusebius mendukung Arius bukan karena keyakinan yang dianut oleh Arius, melainkan disebabkan oleh kepentingan ambisius.

Kaisar Constantin melihat situasi dalam Kristen semakin memburuk. Dia terpaksa turun tangan dengan mengirimkan surat kepada kedua pihak. Kaisar itu sangat mengharapkan kesatuan pendapat dalam agama. Karena hal itu akan menjamin stabilitas daerah yang dikuasainya. Dia meminta keduanya melupakan masalah yang dipertentangkan.

Sementara itu terjadi persengketaan antara Constantin dengan saudara iparnya, Lucianus, yang menguasai wilayah Tracia. Dalam pertempuran tahun 324 M. Lucianus tewas. Karena dia termasuk pendukung Arius, kematiannya mengakibatkan posisi Arius mengalami kemunduran. Sekalipun Constantin memenangkan peperangan, tetapi dia tidak mampu membendung kerusuhan yang melanda beberapa wilayah Romawi. Kaisar tidak mempunyai jalan lain, kecuali dengan cara mengundang seluruh uskup untuk menyelesaikan persoalan rumit itu. Posisi dirinya yang masih menganut faham Paganisme, bisa menguntungkan dia, karena tidak termasuk pengikut salah satu sekte Kristen, dan bisa menjadi pemimpin sidang dan penengah yang tidak memihak. Constantin direstui oleh para uskup untuk menjadi pemimpin sidang, karena tidak ada pihak yang menyetujui sekte lain memimpin sidang itu. Sidang para uskup tahun 325 Masehi yang dipimpin oleh Constantin itu terkenal dengan sebutan Konsili Nicea.

Anggota siding gereja sedunia yang pertama kali kebanyakan terdiri dari para uskup yang masih lugu, jujur dan berpegang teguh pada keyakinan yang dianutnya. Di saat itulah secara mendadak mereka harus berhadapan dengan tokoh-tokoh yang menguasai filsafat Yunani. Sehingga mereka tidak bisa memahami ungkapan-ungkapan filosofis yang didengarnya. Sebaliknya, mereka kehilangan kemampuan untuk mengungkapkan pendapatnya, apalagi harus menghadapi argumentasi pihak lain yang berdasarkan logika. Oleh karena itu, mereka harus memilih salah satu dari dua pilihan, bertahan pada keyakinannya secara diam-diam, atau menyetujui apa saja yang diputuskan oleh pemimpin siding.

Wakil-wakil dari pihak gereja Paulus (Trinitas) yang mempertahankan Tiga Oknum, ternyata mereka mampu menunjukkan Dua Oknum, yakni Bapa Allah dan Anak (Yesus). Mereka tidak berdaya untuk mencari dalil dari Alkitab bahwa Roh Kudus itu adalah salah satu dari oknum Tuhan.

Para uskup murid Lucian seperti Arius, dengan mudah menyudutkan pihak gereja Paulus dari masalah satu ke persoalan yang lain dalam Trinitas. Pihak Unitarian mengakui, di dalam Alkitab, Yesus memanggil Allah dengan kata “Bapa” dan menyebut dirinya dengan kata “Anak”, tetapi mereka menunjukkan kepada lawannya mengenai sabda Yesus yang berbunyi : “Dan janganlah kamu memanggil Bapa kepada seorang pun di dunia ini, karena satu saja Bapa kamu, yaitu yang ada di Sorga” (Matius 23:9)
Dengan demikian oknum anak itu bukan hanya satu, bukan Yesus saja, melainkan berjuta-juta manusia!!.

Pihak Trinitian tidak mampu mematahkan argumentasi pihak Unitarian, sebab kepercayaan terhadap doktrin Trinitas yang diyakini oleh mereka tidak berdasarkan pada kitab Injil. Dengan susah payah mereka berusaha ingin membuktikan bahwa Bibel telah menyatakan “Yesus itu bayangan Allah yang Maha Benar”. Pihak Unitarian menjawab : “Kita sebagai manusia adalah bayangan dan kemegahan Tuhan. Jika dikatakan bahwa bayangan Allah adalah Tuhan, berarti seluruh manusia itu adalah Tuhan !!!”

Perdebatan dalam siding semakin meruncing, dan semua pihak merasa pesimis terhadap hasil siding itu. Pada akhirnya masing-masing pihak saling mengharapkan dukungan kaisar yang memegang keputusan akhir. Constantia adik kaisar Constantin adalah penganut faham Unitarian, memberitahu Eusebius Nicodemia bahwa kaisar ingin mempersatukan gereja. Karena perpecahan akan membahayakan kekaisaran. Jika tidak tercapai persetujuan dan kesamaan keyakinan, mungkin kaisar akan kehilangan kesabaran dan menarik bantuannya kepada gereja, yang akan mengakibatkan keadaan Kristen lebih memprihatinkan dari pada sebelumnya.

Eusebius berunding dengan Arius bersama sahabat lainnya, dan mengambil kebulatan tekad untuk mempertahankan keyakinannya, serta menolak doktrik Trinitas yang mungkin akan mendapatkan suara mayoritas dalam Konsili Nicea itu.

Dukungan Constantin terhadap gereja Paulus akan menambah kekuasaan gereja, dan akan mampu mengakhiri gereja rasuli (Unitarian) di Afrika Utara dengan segala bentuk kekerasan. Untuk mendapatkan dukungan itu, gereja Paulus menyetujui perubahan-perubahan pada agama Kristen. Karena pemujaan kepada Dewa Matahari sudah menjadi tradisi bangsa Romawi pada waktu itu, dan kaisarnya dipandang sebagai perwujudan dari dewa matahari, maka gereja Paulus menyusun rumusan sebagai berikut:

1. Hari Minggu (hari Dewa Matahari) bangsa Romawi dijadikan hari Sabat bagi agama Kristen.
2. Hari kelahiran Dewa Matahari tanggal 25 Desember dijadikan hari kelahiran Yesus.
3. Lambang Dewa Matahari, Salib Sinar, dijadikan lambing agama Kristen.
4. Untuk menyatukan upacara ritual bagi Dewa Matahari dan Yesus, patung Dewa Matahari pada salib diganti dengan patung Yesus.

Kaisar merasa puas, karena jurang perbedaan antara agama Kristen dengan agama Pagan yang dianut oleh bangsa Romawi bisa diakhiri. Akhirnya Trinitas itu diterima dengan suara terbanyak sebagai keyakinan resmi dalam agama Kristen. Pengertian Keesaan Tuhan dalam bahasa Yesus telah berubah maknanya setelah disalin dalam bahasa filsafat Neo-Platonisme yang dikenal dengan Mystic Trinity. Setelah perubahan pengertian keesaan Tuhan diterima oleh suara terbanyak, langkah perumusan ajaran Kristen lkainnya semakin jauh menyimpang dari ajaran Yesus. Rumusan Credo Nicea yang dikenal sampai saat ini adalah rumusan yang ditanda tangani oleh peserta konsili itu, dengan mendapatkan dukungan kaisar Constantin.

Karena pihak Arius tidak mau mengakui keputusan konsili itu, maka diumumkan Anathema (kutukan) terhadap ajaran Arius, sebagai berikut :
“Bagi orang yang berkata : “Ada jarak waktu dimana Yesus belum ada. Sebelum dilahirkan, Yesus tidak ada. Yesus diciptakan dari ynag tidak ada. Anak (Yesus) berbeda zatnya dengan Allah. Yesus adalah obyek perubahan”, maka Gereja Katolik menjatuhkan kutukan”

Setelah peserta konsili pulang ke daerahnya masing-masing, mereka terlibat kembali dalam perdebatan mengenai keputusan konsili itu. Pengikut Unitarian yang selalu menentang keputusan konsili itu ditangkapi, dan yang tak mau taubat untuk menerima doktrin Trinitas dijebloskan dan disiksa di penjara bawah tanah!!. Arius sendiri sejak tahun 325 M, telah dimasukkan ke dalam penjara bawah tabah di pulau kecil sekitar selat Bosporus. Walaupun begitu, perdebatan semakin meruncing di wilayah kekuasaan Romawi. Hanya Athanasius yang masih mematuhi keputusan tersebut, sedangkan para pendukungnya sendiri diliputi kebingungan menghadapi berbagai tantangan.

Sabinas uskup tertua di Thracia mengatakan, yang hadir dalam konsili Nicea itu adalah orang dungu yang bodoh. Keputusan Konsili itu hanya disahkan oleh orang-orang tolol yang tidak memiliki pengetahuan dalam masalah itu. Setelah konsili selesai, Patriarch Alexander mati tahun 328 M. Terjadilah perebutan jabatan keuskupan Iskandariah. Athanasius dipilih dan ditasbihkan menjadi uskup di daerah itu. Pemilihan itu menimbulkan kecaman keras, karena dilakukan dengan intimidasi dan tindakan kekerasan lainnya. Pengikut Arius mengadakan perlawanan terhadap Athanasius.

Cosntantina, saudara kaisar Constantin, menentang pembunuhan terhadap orang Kristen Unitarian, terutama menentang pembuangan Eusebius Nicomedia. Dia tetap mempertahankan bahwa Arius adalah pemimpin agama Kristen yang benar. Alkhirnya, Constantina berhasil membebaskan Eusebius agar kembali ke istana. Kembalinya Eusebius ini merupakan pukulan telak bagi kelompok Athanasius. Constantin semakin condong kepada Arius. Ketika mendapat laporan tentang kecaman masyarakat Kristen atas pemilihan Athanasius, dia memanggil uskup itu agar datang ke Constantinopel. Dengan berbagai alas an Athanasius tidak mau datang memenuhi panggilan itu. Pada tahun 335 M, ketika dilangsungkan konsili di kota Tyre untuk memperingati tiga puluh tahun pemerintahan kaisar Constantin, Athanasius diwajibkan untuk menghadirinya. Dalam konsili itu, dia dituduh telah melakukan kelaliman di wilayah keuskupannya. Karena suasana siding saat itu menyudutkan dirinya, maka dia segera keluar sebelum konsili menjatuhkan hukuman kutukan kepada dirinya. Para uskup kemudia melanjutkan siding di Yerusalem dan mengukuhkan kutukan terhadap Athanasius, serta menerima Arius kembali ke pangkuan gereja.

Constantin mengundang Arius dan Eusebius ke Constantinopel. Perdamaian antara Arius dan kaisar terjalin baik, dan para uskup menjatuhkan kutukan kepada Athanasius.

Arius diangkat menjadi Patriarch Constantinopel, tetapi jabatan itu tidak berlangsung lama, dia wafat secara mendadak pada tahun 336 M, karena makanannya diberi racun. Pihak gereja menganggapnya suatu keajaiban, tetapi pihak istana mencurigai peristiwa itu. Kaisar membentuk komisi untuk menyelidikinya. Athanasius terbukti sebagai otak pembunuhan tersebut dan dijatuhi kutukan !!.

Constantin yang perasaannya sangat terguncang atas kematian Arius itu, dibawah bimbingan Constantina, akhirnya dia memeluk agama Kristen Unitarian, dan dibaptis oleh Eusebius Nicomedia. Pada tahun 377 M, kaisar Romawi itu meninggal dunia dengan membawa keyakinan bahwa Allah satu-satunya Tuhan, dan Yesus adalah manusia biasa utusan Allah.

Arius memiliki peranan penting dalam sejarah Kristen. Bukan hanya karena jasanya yang berhasil menarik kaisar Constantin memeluk agama Kristen, tetapi juga karena mewakili orang-orang yang tabah mempertahankan ajaran Yesus yang murni. Di saat itu ajaran Yesus tercampu aduk dengan kepercayaan-kepercayaan pagan dan politeisme, sehingga ajaran Kristen yang asli dan yang palsu semakin kabur. Maka Arius dengan segala keberaniannya dan ketabahan hatinya, tampil mempertahankan kemurnian ajaran Yesus.

Pada hakikatnya agama samawi telah mengajarkan keesaan Tuhan. Tetapi perkembangan berikutnya telah menyeret pengikutnya ke dalam kemerosotan Tauhid yang mengakibatkan mereka melanggar batas-batas agama. Kondisi keimanan mereka semakin memburuk, yang pada akhirnya mereka terperosok dalam keyakinan Politeisme.

Kisah tersebut diatas semakin meyakinkan kita bahwa ajaran Islamlah yang tetap memegang teguh agama Tauhid, tiada Tuhan selain Allah yang layak disembah adapun Nabi-nabi mulai dari Adam….Ibrahim ..Nuh Isa dan Muhammad adalah utusannya!!. Mereka diutus untuk menyampaikan risalahnya kepada umat manusia, agar manusia mengenal jalan lebar dan lurus yang ditunjukkanNya agar umat manusia mempunyai bekal yang cukup untuk kembali kepadaNya bila saatnya telah tiba. !!



http://kota-ilmu.blogspot.com/2010/02/tokoh-tokoh-kristen-penentang-trinitas.html

Kamis, 25 Februari 2010

Hubungan Hadis dan Al-Quran, Dr. Quraish Shihab

Al-hadits didefinisikan oleh pada umumnya ulama --seperti definisi Al-Sunnah-- sebagai "Segala sesuatu yang dinisbahkan kepada Muhammad saw., baik ucapan, perbuatan dan taqrir (ketetapan), maupun sifat fisik dan psikis, baik sebelum beliau menjadi nabi maupun sesudahnya." Ulama ushul fiqh, membatasi pengertian hadis hanya pada "ucapan-ucapan Nabi Muhammad saw. yang berkaitan dengan hukum"; sedangkan bila mencakup pula perbuatan dan taqrir beliau yang berkaitan dengan hukum, maka ketiga hal ini mereka namai Al-Sunnah. Pengertian hadis seperti yang dikemukakan oleh ulama ushul tersebut, dapat dikatakan sebagai bagian dari wahyu Allah SWT yang tidak berbeda dari segi kewajiban menaatinya dengan ketetapan-ketetapan hukum yang bersumber dari wahyu Al-Quran.

Sementara itu, ulama tafsir mengamati bahwa perintah taat kepada Allah dan Rasul-Nya yang ditemukan dalam Al-Quran dikemukakan dengan dua redaksi berbeda. Pertama adalah Athi'u Allah wa al-rasul, dan kedua adalah Athi'u Allah wa athi'u al-rasul. Perintah pertama mencakup kewajiban taat kepada beliau dalam hal-hal yang sejalan dengan perintah Allah SWT; karena itu, redaksi tersebut mencukupkan sekali saja penggunaan kata athi'u. Perintah kedua mencakup kewajiban taat kepada beliau walaupun dalam hal-hal yang tidak disebut secara eksplisit oleh Allah SWT dalam Al-Quran, bahkan kewajiban taat kepada Nabi tersebut mungkin harus dilakukan terlebih dahulu --dalam kondisi tertentu-- walaupun ketika sedang melaksanakan perintah Allah SWT, sebagaimana diisyaratkan oleh kasus Ubay ibn Ka'ab yang ketika sedang shalat dipanggil oleh Rasul saw. Itu sebabnya dalam redaksi kedua di atas, kata athi'u diulang dua kali, dan atas dasar ini pula perintah taat kepada Ulu Al-'Amr tidak dibarengi dengan kata athi'u karena ketaatan terhadap mereka tidak berdiri sendiri, tetapi bersyarat dengan sejalannya perintah mereka dengan ajaran-ajaran Allah dan Rasul-Nya. (Perhatikan Firman Allah dalam QS 4:59). Menerima ketetapan Rasul saw. dengan penuh kesadaran dan kerelaan tanpa sedikit pun rasa enggan dan pembangkangan, baik pada saat ditetapkannya hukum maupun setelah itu, merupakan syarat keabsahan iman seseorang, demikian Allah bersumpah dalam Al-Quran Surah Al-Nisa' ayat 65.

Tetapi, di sisi lain, harus diakui bahwa terdapat perbedaan yang menonjol antara hadis dan Al-Quran dari segi redaksi dan cara penyampaian atau penerimaannya. Dari segi redaksi, diyakini bahwa wahyu Al-Quran disusun langsung oleh Allah SWT. Malaikat Jibril hanya sekadar menyampaikan kepada Nabi Muhammad saw., dan beliau pun langsung menyampaikannya kepada umat, dan demikian seterusnya generasi demi generasi. Redaksi wahyu-wahyu Al-Quran itu, dapat dipastikan tidak mengalami perubahan, karena sejak diterimanya oleh Nabi, ia ditulis dan dihafal oleh sekian banyak sahabat dan kemudian disampaikan secara tawatur oleh sejumlah orang yang --menurut adat-- mustahil akan sepakat berbohong. Atas dasar ini, wahyu-wahyu Al-Quran menjadi qath'iy al-wurud. Ini, berbeda dengan hadis, yang pada umumnya disampaikan oleh orang per orang dan itu pun seringkali dengan redaksi yang sedikit berbeda dengan redaksi yang diucapkan oleh Nabi saw. Di samping itu, diakui pula oleh ulama hadis bahwa walaupun pada masa sahabat sudah ada yang menulis teks-teks hadis, namun pada umumnya penyampaian atau penerimaan kebanyakan hadis-hadis yang ada sekarang hanya berdasarkan hafalan para sahabat dan tabi'in. Ini menjadikan kedudukan hadis dari segi otensititasnya adalah zhanniy al-wurud.

Walaupun demikian, itu tidak berarti terdapat keraguan terhadap keabsahan hadis karena sekian banyak faktor -- baik pada diri Nabi maupun sahabat beliau, di samping kondisi sosial masyarakat ketika itu, yang topang-menopang sehingga mengantarkan generasi berikut untuk merasa tenang dan yakin akan terpeliharanya hadis-hadis Nabi saw.

Fungsi Hadis terhadap Al-Quran

Al-Quran menekankan bahwa Rasul saw. berfungsi menjelaskan maksud firman-firman Allah (QS 16:44). Penjelasan atau bayan tersebut dalam pandangan sekian banyak ulama beraneka ragam bentuk dan sifat serta fungsinya.

'Abdul Halim Mahmud, mantan Syaikh Al-Azhar, dalam bukunya Al-Sunnah fi Makanatiha wa fi Tarikhiha menulis bahwa Sunnah mempunyai fungsi yang berhubungan dengan Al-Quran dan fungsi sehubungan dengan pembinaan hukum syara'. Dengan menunjuk kepada pendapat Al-Syafi'i dalam Al-Risalah, 'Abdul Halim menegaskan bahwa, dalam kaitannya dengan Al-Quran, ada dua fungsi Al-Sunnah yang tidak diperselisihkan, yaitu apa yang diistilahkan oleh sementara ulama dengan bayan ta'kid dan bayan tafsir. Yang pertama sekadar menguatkan atau menggarisbawahi kembali apa yang terdapat di dalam Al-Quran, sedangkan yang kedua memperjelas, merinci, bahkan membatasi, pengertian lahir dari ayat-ayat Al-Quran.

Persoalan yang diperselisihkan adalah, apakah hadis atau Sunnah dapat berfungsi menetapkan hukum baru yang belum ditetapkan dalam Al-Quran? Kelompok yang menyetujui mendasarkan pendapatnya pada 'ishmah (keterpeliharaan Nabi dari dosa dan kesalahan, khususnya dalam bidang syariat) apalagi sekian banyak ayat yang menunjukkan adanya wewenang kemandirian Nabi saw. untuk ditaati. Kelompok yang menolaknya berpendapat bahwa sumber hukum hanya Allah, Inn al-hukm illa lillah, sehingga Rasul pun harus merujuk kepada Allah SWT (dalam hal ini Al-Quran), ketika hendak menetapkan hukum.

Kalau persoalannya hanya terbatas seperti apa yang dikemukakan di atas, maka jalan keluarnya mungkin tidak terlalu sulit, apabila fungsi Al-Sunnah terhadap Al-Quran didefinisikan sebagai bayan murad Allah (penjelasan tentang maksud Allah) sehingga apakah ia merupakan penjelasan penguat, atau rinci, pembatas dan bahkan maupun tambahan, kesemuanya bersumber dari Allah SWT. Ketika Rasul saw. melarang seorang suami memadu istrinya dengan bibi dari pihak ibu atau bapak sang istri, yang pada zhahir-nya berbeda dengan nash ayat Al-Nisa' ayat 24, maka pada hakikatnya penambahan tersebut adalah penjelasan dari apa yang dimaksud oleh Allah SWT dalam firman tersebut.

Tentu, jalan keluar ini tidak disepakati, bahkan persoalan akan semakin sulit jika Al-Quran yang bersifat qathi'iy al-wurud itu diperhadapkan dengan hadis yang berbeda atau bertentangan, sedangkan yang terakhir ini yang bersifat zhanniy al-wurud. Disini, pandangan para pakar sangat beragam. Muhammad Al-Ghazali dalam bukunya Al-Sunnah Al-Nabawiyyah Baina Ahl Al-Fiqh wa Ahl Al-Hadits, menyatakan bahwa "Para imam fiqih menetapkan hukum-hukum dengan ijtihad yang luas berdasarkan pada Al-Quran terlebih dahulu. Sehingga, apabila mereka menemukan dalam tumpukan riwayat (hadits) yang sejalan dengan Al-Quran, mereka menerimanya, tetapi kalau tidak sejalan, mereka menolaknya karena Al-Quran lebih utama untuk diikuti."

Pendapat di atas, tidak sepenuhnya diterapkan oleh ulama-ulama fiqih. Yang menerapkan secara utuh hanya Imam Abu Hanifah dan pengikut-pengikutnya. Menurut mereka, jangankan membatalkan kandungan satu ayat, mengecualikan sebagian kandungannya pun tidak dapat dilakukan oleh hadis. Pendapat yang demikian ketat tersebut, tidak disetujui oleh Imam Malik dan pengikut-pengikutnya. Mereka berpendapat bahwa al-hadits dapat saja diamalkan, walaupun tidak sejalan dengan Al-Quran, selama terdapat indikator yang menguatkan hadis tersebut, seperti adanya pengamalan penduduk Madinah yang sejalan dengan kandungan hadis dimaksud, atau adanya ijma' ulama menyangkut kandungannya. Karena itu, dalam pandangan mereka, hadis yang melarang memadu seorang wanita dengan bibinya, haram hukumnya, walaupun tidak sejalan dengan lahir teks ayat Al-Nisa' ayat 24.

Imam Syafi'i, yang mendapat gelar Nashir Al-Sunnah (Pembela Al-Sunnah), bukan saja menolak pandangan Abu Hanifah yang sangat ketat itu, tetapi juga pandangan Imam Malik yang lebih moderat. Menurutnya, Al-Sunnah, dalam berbagai ragamnya, boleh saja berbeda dengan Al-Quran, baik dalam bentuk pengecualian maupun penambahan terhadap kandungan Al-Quran. Bukankah Allah sendiri telah mewajibkan umat manusia untuk mengikuti perintah Nabi-Nya?

Harus digarisbawahi bahwa penolakan satu hadis yang sanadnya sahih, tidak dilakukan oleh ulama kecuali dengan sangat cermat dan setelah menganalisis dan membolak-balik segala seginya. Bila masih juga ditemukan pertentangan, maka tidak ada jalan kecuali mempertahankan wahyu yang diterima secara meyakinkan (Al-Quran) dan mengabaikan yang tidak meyakinkan (hadis).

Pemahaman atas Makna Hadis

Seperti dikemukakan di atas, hadis, dalam arti ucapan-ucapan yang dinisbahkan kepada Nabi Muhammad saw., pada umumnya diterima berdasarkan riwayat dengan makna, dalam arti teks hadis tersebut, tidak sepenuhnya persis sama dengan apa yang diucapkan oleh Nabi saw. Walaupun diakui bahwa cukup banyak persyaratan yang harus diterapkan oleh para perawi hadis, sebelum mereka diperkenankan meriwayatkan dengan makna; namun demikian, problem menyangkut teks sebuah hadis masih dapat saja muncul. Apakah pemahaman makna sebuah hadis harus dikaitkan dengan konteksnya atau tidak. Apakah konteks tersebut berkaitan dengan pribadi pengucapnya saja, atau mencakup pula mitra bicara dan kondisi sosial ketika diucapkan atau diperagakan? Itulah sebagian persoalan yang dapat muncul dalam pembahasan tentang pemahaman makna hadis.

Al-Qarafiy, misalnya, memilah Al-Sunnah dalam kaitannya dengan pribadi Muhammad saw. Dalam hal ini, manusia teladan tersebut suatu kali bertindak sebagai Rasul, di kali lain sebagai mufti, dan kali ketiga sebagai qadhi (hakim penetap hukum) atau pemimpin satu masyarakat atau bahkan sebagai pribadi dengan kekhususan dan keistimewaan manusiawi atau kenabian yang membedakannya dengan manusia lainnya. Setiap hadis dan Sunnah harus didudukkan dalam konteks tersebut.

Al-Syathibi, dalam pasal ketiga karyanya, Al-Muwafaqat, tentang perintah dan larangan pada masalah ketujuh, menguraikan tentang perintah dan larangan syara'. Menurutnya, perintah tersebut ada yang jelas dan ada yang tidak jelas. Sikap para sahabat menyangkut perintah Nabi yang jelas pun berbeda. Ada yang memahaminya secara tekstual dan ada pula yang secara kontekstual.

Suatu ketika, Ubay ibn Ka'ab, yang sedang dalam perjalanan menuju masjid, mendengar Nabi saw. bersabda, "Ijlisu (duduklah kalian)," dan seketika itu juga Ubay duduk di jalan. Melihat hal itu, Nabi yang mengetahui hal ini lalu bersabda kepadanya, "Zadaka Allah tha'atan." Di sini, Ubay memahami hadis tersebut secara tekstual.

Dalam peperangan Al-Ahzab, Nabi bersabda, "Jangan ada yang shalat Ashar kecuali di perkampungan Bani Quraizhah." Sebagian memahami teks hadis tersebut secara tekstual, sehingga tidak shalat Ashar walaupun waktunya telah berlalu --kecuali di tempat itu. Sebagian lainnya memahaminya secara kontekstual, sehingga mereka melaksanakan shalat Ashar, sebelum tiba di perkampungan yang dituju. Nabi, dalam kasus terakhir ini, tidak mempersalahkan kedua kelompok sahabat yang menggunakan pendekatan berbeda dalam memahami teks hadis.

Imam Syafi'i dinilai sangat ketat dalam memahami teks hadis, tidak terkecuali dalam bidang muamalat. Dalam hal ini, Al-Syafi'i berpendapat bahwa pada dasarnya ayat-ayat Al-Quran dan hadis-hadis Nabi saw., harus dipertahankan bunyi teksnya, walaupun dalam bidang muamalat, karena bentuk hukum dan bunyi teks-teksnya adalah ta'abbudiy, sehingga tidak boleh diubah. Maksud syariat sebagai maslahat harus dipahami secara terpadu dengan bunyi teks, kecuali jika ada petunjuk yang mengalihkan arti lahiriah teks.

Kajian 'illat, dalam pandangan Al-Syafi'i, dikembangkan bukan untuk mengabaikan teks, tetapi untuk pengembangan hukum. Karena itu, kaidah al-hukm yaduru ma'a illatih wujud wa 'adam,115 hanya dapat diterapkan olehnya terhadap hasil qiyas, bukan terhadap bunyi teks Al-Quran dan hadis. Itu sebabnya Al-Syafi'i berpendapat bahwa lafal yang mengesahkan hubungan dua jenis kelamin, hanya lafal nikah dan zawaj, karena bunyi hadis Nabi saw. menyatakan, "Istahlaltum furujahunna bi kalimat Allah (Kalian memperoleh kehalalan melakukan hubungan seksual dengan wanita-wanita karena menggunakan kalimat Allah)", sedangkan kalimat (lafal) yang digunakan oleh Allah dalam Al-Quran untuk keabsahan hubungan tersebut hanya lafal zawaj dan nikah.

Imam Abu Hanifah lain pula pendapatnya. Beliau sependapat dengan ulama-ulama lain yang menetapkan bahwa teks-teks keagamaan dalam bidang ibadah harus dipertahankan, tetapi dalam bidang muamalat, tidak demikian. Bidang ini menurutnya adalah ma'qul al-ma'na, dapat dijangkau oleh nalar. Kecuali apabila ia merupakan ayat-ayat Al-Quran yang berkaitan dengan perincian, maka ketika itu ia bersifat ta'abbudiy juga. Teks-teks itu, menurutnya, harus dipertahankan, bukan saja karena akal tidak dapat memastikan mengapa teks tersebut yang dipilih, tetapi juga karena teks tersebut diterima atas dasar qath'iy al-wurud. Dengan alasan terakhir ini, sikapnya terhadap teks-teks hadis menjadi longgar. Karena, seperti dikemukakan di atas, periwayatan lafalnya dengan makna dan penerimaannya bersifat zhanniy.

Berpijak pada hal tersebut di atas, Imam Abu Hanifah tidak segan-segan mengubah ketentuan yang tersurat dalam teks hadis, dengan alasan kemaslahatan. Fatwanya yang membolehkan membayar zakat fitrah dengan nilai, atau membenarkan keabsahan hubungan perkawinan dengan lafal hibah atau jual beli, adalah penjabaran dari pandangan di atas. Walaupun demikian, beliau tidak membenarkan pembayaran dam tamattu' dalam haji, atau qurban dengan nilai (uang) karena kedua hal tersebut bernilai ta'abudiy, yakni pada penyembelihannya.

Demikianlah beberapa pandangan ulama yang sempat dikemukakan tentang hadis.

Catatan kaki : 115 Ketetapan hukum selalu berkaitan dengan 'illat (motifnya). Bila motifnya ada, hukumnya bertahan; dan bila motif nya gugur, hukumnya pun gugur.

Hikmah Diharamkannya Riba Menurut Yusuf Qardhawi


Islam dalam memperkeras persoalan haramnya riba, semata-mata demi melindungi kemaslahatan manusia, baik dari segi akhlaknya, masyarakatnya maupun perekonomiannya.

Kiranya cukup untuk mengetahui hikmahnya seperti apa yang dikemukakan oleh Imam ar-Razi dalam tafsirnya sebagai berikut:

1. Riba adalah suatu perbuatan mengambil harta kawannya tanpa ganti. Sebab orang yang meminjamkan uang 1 dirham dengan 2 dirham, misalnya, maka dia dapat tambahan satu dirham tanpa imbalan ganti. Sedang harta orang lain itu merupakan standard hidup dan mempunyai kehormatan yang sangat besar, seperti apa yang disebut dalam hadis Nabi:
"Bahwa kehormatan harta manusia, sama dengan kehormatan darahnya."11
Oleh karena itu mengambil harta kawannya tanpa ganti, sudah pasti haramnya.

2. Bergantung kepada riba dapat menghalangi manusia dari kesibukan bekerja. Sebab kalau si pemilik uang yakin, bahwa dengan melalui riba dia akan beroleh tambahan uang, baik kontan ataupun berjangka, maka dia akan mengentengkan persoalan mencari penghidupan, sehingga hampir-hampir dia tidak mau menanggung beratnya usaha, dagang dan pekerjaan-pekerjaan yang berat. Sedang hal semacam itu akan berakibat terputusnya bahan keperluan n-tasyarakat. Iran satu hal yang tidak dapat disangkal lagi, bahwa kemaslahatan dunia seratus persen ditentukan oleh jalannya perdagangan, pekerjaan, perusahaan dan pembangunan.
(Tidak diragukan lagi, bahwa hikmah ini pasti dapat diterima, dipandang dari segi perekonomian).

3. Riba akan menyebabkan terputusnya sikap yang baik (ma'ruf) antara sesama manusia dalam bidang pinjam-meminjam. Sebab kalau riba itu diharamkan, maka seseorang akan merasa senang meminjamkan uang satu dirham dan kembalinya satu dirham juga. Tetapi kalau riba itu dihalalkan, maka sudah pasti kebutuhan orang akan menganggap berat dengan diambilnya uang satu dirham dengan diharuskannya mengembalikan dua dirham. Justru itu, maka terputuslah perasaan belas-kasih dan kebaikan.
(Ini suatu alasan yang dapat diterima, dipandang dari segi ethik).

4. Pada umumnya pemberi piutang adalah orang yang kaya, sedang peminjam adalah orang yang tidak mampu. Maka pendapat yang membolehkan riba, berarti memberikan jalan kepada orang kaya untuk mengambil harta orang miskin yang lemah sebagai tambahan. Sedang tidak layak berbuat demikian sebagai orang yang memperoleh rahmat Allah.
(Ini ditinjau dari segi sosial).

Ini semua dapat diartikan, bahwa riba terdapat unsur pemerasan terhadap orang yang lemah demi kepentingan orang kuat (exploitasion de l'home par l'hom) dengan suatu kesimpulan: yang kaya bertambah kaya, sedang yang miskin tetap miskin. Hal mana akan mengarah kepada membesarkan satu kelas masyarakat atas pembiayaan kelas lain, yang memungkinkan akan menimbulkan golongan sakit hati dan pendengki; dan akan berakibat berkobarnya api terpentangan di antara anggota masyarakat serta membawa kepada pemberontakan oleh golongan ekstrimis dan kaum subversi.

Sejarah pun telah mencatat betapa bahayanya riba dan si tukang riba terhadap politik, hukum dan keamanan nasional dan internasional.

WANITA BERHIAS DI SALON KECANTIKAN Menurut Dr. Yusuf Al-Qardhawi


PERTANYAAN
 
Apakah boleh wanita Muslimat menghias (mempercantik) dirinya
di  tempat-tempat  tertentu,  misalnya  pada  saat ini, yang
dinamakan salon kecantikan, dengan alasan keadaan masa  kini
bagi wanita  sangat penting untuk tampil dengan perlengkapan
dan cara-cara berhias seperti itu yang bersifat modren?
 
Selain itu, bolehkah wanita memakai rambut palsu atau  tutup
kepala yang dibuat khusus untuk itu?
 
JAWAB
 
Agama  Islam  menentang kehidupan yang bersifat kesengsaraan
dan menyiksa diri, sebagaimana yang telah dipraktekkan  oleh
sebagian  dari pemeluk agama lain dan aliran tertentu. Agama
Islam pun menganjurkan bagi  ummatnya  untuk  selalu  tampak
indah   dengan   cara   sederhana   dan  layak,  yang  tidak
berlebih-lebihan. Bahkan Islam menganjurkan di  saat  hendak
mengerjakan  ibadat,  supaya  berhias diri disamping menjaga
kebersihan dan kesucian tempat maupun pakaian.
 
Allah swt. berfirman:
 
     "... pakailah pakaianmu yang indah pada setiap
     (memasuki) masjid ..." (Q.s.Al-A'raaf: 31)
 
Bila Islam sudah menetapkan hal-hal yang  indah,  baik  bagi
laki-laki  maupun  wanita, maka terhadap wanita, Islam lebih
memberi  perhatian  dan   kelonggaran,   karena   fitrahnya,
sebagaimana  dibolehkannya memakai kain sutera dan perhiasan
emas, dimana hal itu diharamkan bagi kaum laki-laki.
 
Adapun hal-hal  yang  dianggap  oleh  manusia  baik,  tetapi
membawa  kerusakan  dan  perubahan  pada tubuhnya, dari yang
telah diciptakan oleh Allah swt, dimana perubahan itu  tidak
layak  bagi  fitrah  manusia,  tentu  hal  itu pengaruh dari
perbuatan setan yang hendak memperdayakan. Oleh karena  itu,
perbuatan tersebut dilarang. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad
saw.:
 
     "Allah melaknati pembuatan tatto, yaitu menusukkan
     jarum ke kulit dengan warna yang berupa tulisan,
     gambar bunga, simbol-simbol dan sebagainya;
     mempertajam gigi, memendekkan atau menyambung
     rambut dengan rambut orang lain, (yang bersifat
     palsu, menipu dan sebagainya)." (Hadis shahih).
 
Sebagaimana riwayat Said bin Musayyab, salah seorang sahabat
Nabi  saw.  ketika Muawiyah berada di Madinah setelah beliau
berpidato,  tiba-tiba  mengeluarkan  segenggam  rambut   dan
mengatakan,  "Inilah  rambut  yang dinamakan Nabi saw. azzur
yang artinya  atwashilah  (penyambung),  yang  dipakai  oleh
wanita  untuk menyambung rambutnya, hal itulah yang dilarang
oleh Rasulullah saw. dan  tentu  hal  itu  adalah  perbuatan
orang-orang Yahudi. Bagaimana dengan Anda, wahai para ulama,
apakah kalian tidak melarang  hal  itu?  Padahal  aku  telah
mendengar   sabda  Nabi  saw.  yang  artinya,  'Sesungguhnya
terbinasanya orang-orang Israel itu  karena  para  wanitanya
memakai itu (rambut palsu) terus-menerus'." (H.r. Bukhari).
 
Nabi  saw.  menamakan  perbuatan  itu  sebagai  suatu bentuk
kepalsuan, supaya tampak hikmah sebab  dilarangnya  hal  itu
bagi kaum wanita, dan karena hal itu juga merupakan sebagian
dari tipu muslihat.
 
Bagi wanita yang menghias rambut atau lainnya di salon-salon
kecantikan,  sedang  yang  menanganinya (karyawannya) adalah
kaum laki-laki. Hal itu jelas  dilarang,  karena  bukan saja
bertemu  dengan laki-laki yang bukan muhrimnya, tetapi lebih
dari itu, sudah pasti itu haram, walaupun dilakukan di rumah
sendiri.
 
Bagi  wanita  Muslimat  yang tujuannya taat kepada agama dan
Tuhannya, sebaiknya berhias diri di rumahnya  sendiri  untuk
suaminya,  bukan  di  luar  rumah atau di tengah jalan untuk
orang lain. Yang  demikian  itu  adalah  tingkah  laku  kaum
Yahudi yang menginginkan cara-cara moderen dan sebagainya.
 
---------------------------------------------------
Fatawa Qardhawi: Permasalahan, Pemecahan dan Hikmah
Dr. Yusuf Al-Qardhawi

Bunga Bank Menurut Dr. Yusuf Qardhawi


PERTANYAAN
 
Saya seorang pegawai golongan menengah, sebagian penghasilan
saya tabungkan dan saya mendapatkan bunga. Apakah dibenarkan
saya mengambil bunga itu? Karena  saya  tahu  Syekh  Syaltut
memperbolehkan mengambil bunga ini.
 
Saya pernah bertanya kepada sebagian ulama, di antara mereka
ada yang memperbolehkannya dan ada yang  melarangnya.  Perlu
saya  sampaikan  pula bahwa saya biasanya mengeluarkan zakat
uang saya, tetapi bunga  bank  yang  saya  peroleh  melebihi
zakat yang saya keluarkan.
 
Jika bunga uang itu tidak boleh saya ambil, maka apakah yang
harus saya lakukan?
 
JAWABAN
 
Sesungguhnya bunga yang diambil oleh penabung di bank adalah
riba yang diharamkan, karena riba adalah semua tambahan yang
disyaratkan atas pokok  harta.  Artinya,  apa  yang  diambil
seseorang   tanpa   melalui   usaha  perdagangan  dan  tanpa
berpayah-payah sebagai tambahan atas  pokok  hartanya,  maka
yang  demikian  itu  termasuk  riba.  Dalam  hal  ini  Allah
berfirman:
 
    "Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada
     Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut)
     jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu
     tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka
     ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan
     memerangimu. Dan jika kamu bertobat (dari pengambilan
     riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak
     menganiaya dan tidak (pula) dianiaya."
    (Antara lain Baqarah: 278-279)
 
Yang dimaksud dengan tobat di  sini  ialah  seseorang  tetap
pada  pokok  hartanya,  dan  berprinsip  bahwa tambahan yang
timbul darinya adalah  riba.  Bunga-bunga  sebagai  tambahan
atas  pokok  harta  yang diperoleh tanpa melalui persekutuan
atas perkongsian, mudharakah, atau bentuk-bentuk persekutuan
dagang lainnnya, adalah riba yang diharamkan. Sedangkan guru
saya  Syekh  Syaltut   sepengetahuan   saya   tidak   pernah
memperbolehkan  bunga  riba, hanya beliau pernah mengatakan:
"Bila keadaan darurat --baik darurat individu maupun darurat
ijtima'iyah--  maka  bolehlah dipungut bunga itu." Dalam hal
ini  beliau   memperluas   makna   darurat   melebihi   yang
semestinya,  dan  perluasan  beliau  ini tidak saya setujui.
Yang pernah beliau fatwakan  juga  ialah  menabung  di  bank
sebagai sesuatu yang lain dari bunga bank. Namun, saya tetap
tidak setuju dengan pendapat ini.
 
Islam tidak memperbolehkan seseorang menaruh pokok  hartanya
dengan  hanya  mengambil  keuntungan.  Apabila dia melakukan
perkongsian,  dia  wajib  memperoleh  keuntungan   begitupun
kerugiannya.  Kalau  keuntungannya sedikit, maka dia berbagi
keuntungan sedikit, demikian juga jika memperoleh keuntungan
yang banyak. Dan jika tidak mendapatkan keuntungan, dia juga
harus menanggung kerugiannya. Inilah makna persekutuan  yang
sama-sama memikul tanggung jawab.
 
Perbandingan  perolehan  keuntungan  yang tidak wajar antara
pemilik  modal   dengan   pengelola   --misalnya   pengelola
memperoleh  keuntungan  sebesar  80%-90%  sedangkan  pemilik
modal  hanya  lima  atau  enam  persen--  atau   terlepasnya
tanggung  jawab  pemilik  modal  ketika  pengelola mengalami
kerugian, maka  cara  seperti  ini  menyimpang  dari  sistem
ekonomi  Islam  meskipun  Syeh  Syaltut  pernah  memfatwakan
kebolehannya. Semoga Allah memberi rahmat dan ampunan kepada
beliau.
 
Maka pertanyaan apakah dibolehkan mengambil bunga bank, saya
jawab tidak boleh. Tidak halal baginya dan  tidak  boleh  ia
mengambil   bunga  bank,  serta  tidaklah  memadai  jika  ia
menzakati harta yang ia simpan di bank.
 
Kemudian langkah apa yang harus kita lakukan jika menghadapi
kasus demikian?
 
Jawaban saya: segala sesuatu yang haram tidak boleh dimiliki
dan wajib  disedekahkan  sebagaimana  dikatakan  para  ulama
muhaqqiq  (ahli tahqiq). Sedangkan sebagian ulama yang wara'
(sangat berhati-hati) berpendapat bahwa uang itu tidak boleh
diambil  meskipun untuk disedekahkan, ia harus membiarkannya
atau membuangnya ke laut.  Dengan  alasan,  seseorang  tidak
boleh  bersedekah dengan sesuatu yang jelek. Tetapi pendapat
ini bertentangan  dengan  kaidah  syar'iyyah  yang  melarang
menyia-nyiakan harta dan tidak memanfaatkannya.
 
Harta  itu  bolehlah  diambil  dan disedekahkan kepada fakir
miskin, atau disalurkan  pada  proyek-proyek  kebaikan  atau
lainnya  yang  oleh  si  penabung  dipandang bermanfaat bagi
kepentingan Islam dan kaum muslimin. Karena harta haram  itu
--sebagaimana  saya katakan-- bukanlah milik seseorang, uang
itu bukan milik  bank  atau  milik  penabung,  tetapi  milik
kemaslahatan umum.
 
Demikianlah  keadaan  harta yang haram, tidak ada manfaatnya
dizakati, karena zakat itu tidak dapat  mensucikannya.  Yang
dapat  mensucikan  harta ialah mengeluarkan sebagian darinya
untuk zakat. Karena itulah Rasulullah saw. bersabda:
 
    "Sesungguhnya Allah tidak menerima sedekah dari
     hasil korupsi." (HR Muslim)
 
Allah tidak menerima sedekah dari harta semacam ini,  karena
harta  tersebut  bukan  milik  orang yang memegangnya tetapi
milik umum yang dikorupsi.
 
Oleh sebab itu, janganlah  seseorang  mengambil  bunga  bank
untuk  kepentingan  dirinya,  dan  jangan pula membiarkannya
menjadi milik bank sehingga dimanfaatkan karena hal ini akan
memperkuat posisi bank dalam bermuamalat secara riba. Tetapi
hendaklah   ia   mengambilnya   dan   menggunakannya    pada
jalan-jalan kebaikan.
 
Sebagian   orang   ada   yang   mengemukakan   alasan  bahwa
sesungguhnya seseorang yang  menyõmpan  uang  di  bank  juga
memiliki  risiko  kerugian  jika bank itu mengalami kerugian
dan  pailit,  misalnya  karena  sebab  tertentu.  Maka  saya
katakan bahwa kerugian seperti itu tidak membatalkan kaidah,
walaupun  si  penabung  mengalami   kerugian   akibat   dari
kepailitan   atau  kebangkrutan  tersebut,  karena  hal  ini
menyimpang  dari  kaidah  yang   telah   ditetapkan.   Sebab
tiap-tiap  kaidah ada penyimpangannya, dan hukum-hukum dalam
syariat Ilahi  -demikian  juga  dalam  undang-undang  buatan
manusia--  tidak  boleh  disandarkan  kepada perkara-perkara
yang ganjil dan jarang terjadi. Semua  ulama  telah  sepakat
bahwa  sesuatu  yang  jarang  terjadi  tidak dapat dijadikan
sebagai  sandaran  hukum,  dan  sesuatu  yang  lebih  sering
terjadi  dihukumi sebagai hukum keseluruhan. Oleh karenanya,
kejadian tertentu tidak dapat membatalkan  kaidah  kulliyyah
(kaidah umum).
 
Menurut  kaidah  umum,  orang  yang  menabung uang (di bank)
dengan  jalan  riba  hanya  mendapatkan   keuntungan   tanpa
memiliki  risiko kerugian. Apabila sekali waktu ia mengalami
kerugian, maka  hal  itu  merupakan  suatu  keganjilan  atau
penyimpangan  dari  kondisi  normal, dan keganjilan tersebut
tidak dapat dijadikan sandaran hukum.
 
Boleh  jadi  saudara  penanya  berkata,  "Tetapi  bank  juga
mengolah  uang  para  nasabah, maka mengapa saya tidak boleh
mengambil keuntungannya?"
 
Betul  bahwa  bank  memperdagangkan  uang  tersebut,  tetapi
apakah  sang  nasabah  ikut  melakukan aktivitas dagang itu.
Sudah tentu tidak. Kalau nasabah  bersekutu  atau  berkongsi
dengan  pihak  bank  sejak  semula, maka akadnya adalah akad
berkongsi, dan  sebagai  konsekuensinya  nasabah  akan  ikut
menanggung  apabila  bank  mengalami  kerugian.  Tetapi pada
kenyataannya,  pada  saat  bank  mengalami   kerugian   atau
bangkrut,  maka  para  penabung  menuntut  dan  meminta uang
mereka, dan pihak  bank  pun  tidak  mengingkarinya.  Bahkan
kadang-kadang   pihak   bank   mengembalikan  uang  simpanan
tersebut  dengan  pembagian  yang   adil   (seimbang)   jika
berjumlah banyak, atau diberikannya sekaligus jika berjumlah
sedikit.
 
Bagaimanapun juga sang nasabah tidaklah  menganggap  dirinya
bertanggung  jawab  atas  kerugian itu dan tidak pula merasa
bersekutu  dalam  kerugian  bank  tersebut,  bahkan   mereka
menuntut uangnya secara utuh tanpa kurang sedikit pun.
 
-----------------------
Fatwa-fatwa Kontemporer
Dr. Yusuf Qardhawi

Nabi yang Ummi


Makna perkataan al-Qur'an ummiy telah dikelirukan oleh para ulama palsu Islam zaman dahulu. Mereka mengertikan kalimat tersebut kepada buta huruf. Lalu Nabi Muhammad, "Nabi yang ummiy" (7:157-158), dikatakannya tidak pandai membaca dan menulis. Ajaran mereka diterima tanpa ragu oleh hampir seluruh umat Islam sejak dari zaman dahulu hingga ke hari ini.
Sebenarnya, ajaran itu palsu. Kepalsuannya dapat didedahkan dengan menggunakan sumber rujukan utama bagi bahasa Arab iaitu kitab al-Qur'an. Ayat-ayat al-Qur'an yang mengandungi kalimat ummiy akan membuktikan bahawa ajaran mereka bukan sahaja palsu tetapi berbau fitnah yang amat besar dalam Islam. Antara ayat yang dimaksudkan berbunyi:
"Dia yang membangkitkan pada kaum yang ummiy seorang rasul di kalangan mereka untuk membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka," (62:2).

Ummiy

Kaum yang ummiy yang disebut di dalam ayat itu adalah kaum Arab. Orang-orang Arab pada zaman Nabi Muhammad difahamkan berada di tahap tinggi dalam kesusasteraan dengan karya-karya sastera yang bermutu dipamer dan digantung di Kaaba. Tentu itu tidak menggambarkan orang Arab jahiliah ketika itu berada dalam keadaan buta huruf. Mereka dikatakan jahililiah hanya dalam kepercayaan bukan dalam pelbagai bidang lain.
Kalimat ummiy, menurut al-Qur'an, bermaksud orang-orang yang tidak, atau belum, diberi sebarang Kitab oleh Allah. Ia juga bermaksud kaum Arab seperti yang telah disebut.
Kaum Yahudi pula telah diberi tiga buah Kitab melalui beberapa orang Nabi mereka. Mereka dipanggil ahli Kitab. Tetapi jiran mereka, orang-orang Arab, belum diberi sebarang Kitab pun sebelum al-Qur'an diturunkan kepada Nabi Muhammad. Lantaran, orang-orang Arab dikatakan ummiy sebab belum menerima Kitab Allah.
Untuk menjelaskan lagi dipetik sebuah ayat yang menunjukkan dengan jelas perbezaan antara ahli Kitab (orang yang telah diberi Kitab) dengan kaum ummiy (yang belum diberi Kitab) atau buta Kitab. Firman-Nya:
"Dan daripada ahli Kitab ada yang, jika kamu mempercayakan dengan satu timbunan, dia akan mengembalikannya kepada kamu; dan antara mereka ada yang, jika kamu mempercayakan dengan satu dinar, dia tidak akan mengembalikannya kepada kamu, kecuali kamu selalu berdiri di atas (menagih) dia. Itu adalah kerana mereka berkata, 'Tidak ada jalan atas kami terhadap orang-orang ummiy (yang tidak diberi Kitab, iaitu orang Arab).' Mereka berkata dusta terhadap Allah sedang mereka mengetahuinya." (3:75)
Ayat di atas menunjukkan keengganan sesetengah orang Yahudi (ahli Kitab) untuk mengembalikan "hutang" kepada orang Arab, yang ummiy (yang tidak diberi Kitab, atau buta Kitab), atas sebab "tidak ada jalan" bagi mereka terhadap orang ummiy. Sikap macam itu seakan sama dengan apa yang disemat di iman sesetengah orang Islam terhadap orang yang mereka anggap kafir pada hari ini.
Satu lagi ayat al-Qur'an dipetik untuk memantapkan lagi hujah dalam menunjukkan perbezaan tersebut, berbunyi:
"Dan katakanlah kepada orang-orang yang diberi al-Kitab, dan orang-orang ummiy (yang tidak diberi Kitab), 'Sudahkah kamu tunduk patuh?'" (3:20)
Maka jelaslah iaitu kalimat ummiy tidak bermakna buta huruf, lantas, Nabi Muhammad bukanlah seorang yang tidak tahu membaca dan menulis. (Sila rujuk Kalimat ummiy di dalam al-Qur'an.)

Membaca

Selanjutnya, terdapat banyak ayat di dalam al-Qur'an yang mengisahkan Nabi disuruh oleh Allah supaya membaca ayat-ayat-Nya kepada orang-orang yang berada di kelilingnya. Itu menunjukkan Nabi pandai membaca. Antara ayat yang dimaksudkan adalah enam yang berikut:
"Dan kamu (Muhammad) bacakanlah kepada mereka cerita dua orang anak Adam dengan sebenarnya ...." (5:27)"Katakanlah, 'Marilah, aku (Muhammad) akan membacakan apa yang Pemelihara kamu mengharamkan kamu ....'" (6:151)
"Demikianlah Kami mengutus kamu (Muhammad) kepada satu umat yang sebelumnya beberapa umat telah berlalu untuk membacakan mereka apa yang Kami mewahyukan kamu ...." (13:30)
"Dan sebuah al-Qur'an yang Kami membahagi-bahagikan, untuk kamu (Muhammad) membacakannya kepada manusia berjarak-jarak, dan Kami menurunkannya dengan satu penurunan." (17:106)
"Aku (Muhammad) hanya diperintah untuk menyembah Pemelihara tanah ini, yang Dia menjadikannya suci; kepunyaan-Nya segala sesuatu. Dan aku diperintah supaya menjadi antara orang-orang yang muslim, dan untuk membaca al-Qur'an ...." (27:91-92)
"Wahai ahli Rumah, Allah hanya menghendaki untuk menghilangkan kotoran daripada kamu, dan untuk membersihkan kamu, sebersih-bersihnya. Dan ingatlah apa yang dibacakan di dalam rumah-rumah kamu daripada ayat-ayat Allah ...." (33:33-34). Di sini, Nabi didapati membacakan ayat-ayat Allah kepada isteri-isterinya di rumah-rumah mereka.
Malahan, rasul-rasul Allah yang lain didapati pandai membaca kerana mereka ditugaskan untuk membaca ayat-ayat-Nya kepada manusia. Tugas itu adalah juga tugas Nabi Muhammad. Dua ayat yang berikut menjelaskannya:
"Kemudian orang-orang yang tidak percaya dihalau dalam kumpulan-kumpulan ke Jahanam, sehingga apabila mereka datang kepadanya, pintu-pintunya dibuka, dan penjaga-penjaganya berkata kepada mereka, 'Tidakkah rasul-rasul datang kepada kamu daripada kalangan kamu sendiri, dengan membacakan kamu ayat-ayat Pemelihara kamu, dan memberi amaran kepada kamu terhadap pertemuan hari kamu ini?' Mereka berkata, 'Ia, benar ....'" (39:71)"Dia yang membangkitkan pada kaum yang ummiy (orang Arab) seorang rasul (Muhammad) di kalangan mereka untuk membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka," (62:2)
Tambahan pula, adalah sukar untuk menerima hakikat bahawa seorang Nabi pilihan-Nya tidak tahu membaca walhal Dia menyuruhnya dan manusia lain supaya mengamalkan tabiat membaca, seperti firman-Nya - "Bacalah dengan nama Pemelihara kamu yang mencipta," (96:1)

Menulis

Bukan sahaja didapati, di dalam al-Qur'an, yang Nabi pandai membaca, malah, baginda juga didapati pandai menulis. Kebenaran itu telah diakui sendiri oleh orang-orang yang tidak percaya yang tinggal bersamanya. Firman-Nya:
"Mereka berkata, 'Dongeng orang-orang dahulu kala, yang dia menulisnya, yang diimlakkan kepadanya pada waktu awal pagi dan petang.'" (25:5)
Terjemahan ayat tersebut telah menimbulkan keraguan sesetengah pihak. Betulkah ayat itu diterjemahkan? Untuk mengikis keraguan, pertama, dikemukakan sebuah tafsir kepada ayat yang sama, oleh Prof. Dr. Hj. Mahmud Yunus (Tafsir Quran Karim, cetakan ke-19, 1979, halaman 525) yang berbunyi:
"Mereka berkata: (Qur'an ini) kabar-kabar dongeng orang-orang dahulu kala, yang dituliskan oleh Muhammad dan dibacakan (didiktekan) orang kepadanya pagi-pagi dan petang." (25:5)
Kedua, kalimat yang diterjemahkan kepada "menulisnya" ialah iktataba. Kalimat itu penting kerana, difahamkan, mempunyai pengertian "menulis nota terutamanya apabila orang kedua sedang mengimlakkan."
Dan akhir sekali, terdapat sebuah lagi ayat yang bukan sahaja menyokong ayat 25:5 tadi bahkan mampu untuk menghapuskan sama sekali keraguan terhadap Nabi yang dikatakan kini pandai membaca dan menulis, termasuk membaca dan menulis Kitab. Firman-Nya:
"Tidaklah sebelum ini kamu (Muhammad) membaca sebarang Kitab, atau menulisnya dengan tangan kanan kamu; jika demikian, tentulah orang-orang yang mengikuti yang palsu menjadi ragu-ragu." (29:48)
Ia menegaskan, Nabi tidak pernah membaca dan menulis sebarang Kitab sebelum menerima al-Qur'an. Bermaksud, selepas menerima al-Qur'an baginda telah membaca, dan menulis Kitab dengan tangan kanannya.
Seterusnya, ayat itu tidak menunjukkan pula bahawa baginda tidak pernah membaca dan menulis sesuatu yang selain daripada Kitab sebelum menerima al-Qur'an (misalan, membaca dan menulis apa yang diperlukan dalam urusan perdagangannya).
Dengan adanya bukti-bukti yang jelas daripada Allah, maka terdedahlah fitnah yang kian lama dilakukan oleh para ulama palsu Islam ke atas Nabi Muhammad yang mereka menyiarkan sebagai seorang yang tidak tahu membaca dan menulis, atau buta huruf. Sesungguhnya mereka menghina Nabi dengan berbuat demikian meskipun mereka mendakyahkan iaitu merekalah orang-orang yang paling mengasihinya.



Tanggapan 1

 Assalamu'alaikum wr. wb.,
Rasulullah SAW menyatakan dirinya tidak bisa membaca ketika bertemu Jibril pertama kali yang meminta beliau untuk membaca lembaran yang dibawanya.
"Tatkala ia sedang dalam keadaan tidur dalam gua itu, ketika itulah datang malaikat membawa sehelai lembaran seraya berkata kepadanya: "Bacalah!" Dengan terkejut Muhammad menjawab: "Saya tak dapat membaca". Ia merasa seolah malaikat itu mencekiknya, kemudian dilepaskan lagi seraya katanya lagi: "Bacalah!" Masih dalam ketakutan akan dicekik lagi Muhammad menjawab: "Apa yang akan saya baca." Seterusnya malaikat itu berkata: "Bacalah! Dengan nama Tuhanmu Yang menciptakan. Menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah. Dan Tuhanmu Maha Pemurah. Yang mengajarkan dengan Pena. Mengajarkan kepada manusia apa yang belum diketahuinya ..." (Qur'an 96:1-5) (Haekal)
Rasulullah Muhammad SAW juga menyatakan dirinya dan kaumnya "ummiy" dengan penegasan maksudnya "tidak menulis dan tidak menghisab" terdapat dalam hadits riwayat Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan Ibnu Umar "Nahnu ummatun ummiyyatun laa naktubu walaa nahsubu" (Kami ummat yang ummiy, tidak menulis dan tidak menghitung).
Hadits ini bisa menjelaskan makna "ummiy" pada QS. 7:157 ("... orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummiy...") memang berarti buta huruf. Sejarah hidup Rasulullah juga mengisyaratkan Rasulullah SAW tidak belajar membaca dan menulis, karena hidup bersama kakek dan pamannya bukan hidup yang berkecukupan sehingga waktunya habis untuk bekerja. Ahli sastra yang ada pada masa itu, saya kira, hanya kaum elit yang jumlahnya tidak terlalu banyak. Sastra lisan mungkin sangat maju, tetapi sastra tulis belum tentu. Setahu saya, bangsa Cina salah satu (atau satu-satunya) bangsa yang punya kebudayaan tulis sejak dahulu yang dikenal maju sehingga ada hadits "Tuntutlah ilmu walau di negeri Cina". (Catatan admin: tentang hadits ini silakan baca uraian penting di sini)
"Ummiy" tidak berarti bodoh, sehingga memaknai "ummiy" sebagai buta huruf tidak akan merendahkan kemuliaan Rasulullah. Salah satu sifat Rasul adalah cerdas (fathonah). Nabi Muhammad SAW "ummiy" bisa jadi Allah yang mengaturnya, agar Al-quran yang dibawanya tidak menimbulkan keraguan sebagai tiruan kitab-kitab sebelumnya.
"Dan kamu tidak pernah membaca sebelumnya (Al Qur'an) sesuatu Kitabpun dan kamu tidak (pernah) menulis suatu Kitab dengan tangan kananmu; andaikata (kamu pernah membaca dan menulis), benar-benar ragulah orang yang mengingkari(mu). Sebenarnya, Al Qur'an itu adalah ayat-ayat yang nyata di dalam dada orang-orang yang diberi ilmu. Dan tidak ada yang mengingkari ayat-ayat Kami kecuali orang-orang yang zalim" (QS 29:48-49)
Wassalamu'alaikum wr. wb.,
T. Djamaluddin [t_djamal@hotmail.com]



Tanggapan 2

BISMILLA-HIRRAHMA-NIRRAHIYM

Nabi Muhammad SAW Tidak mengenal Huruf

Fa Jaahu lMalaku fa Qaala Iqra' Qaala Maa Ana biQaariy Qaala fa Akhadzaniy
faGhaththaniy Hatta- Balagha Minni lJahdu tsumma Arsalaniy fa Qaala Iqra'
Qultu Maa Ana biQaariy Qaala fa Akhadzaniy faGhaththani Tstsaaniyata Hatta-
Balagha Minni lJahdu tsumma Arsalaniy fa Qaala Iqra' Qultu Maa Ana biQaariy
Qaala fa Akhadzaniy faGhaththani Tstsaalitsata Hatta- Balagha Minni lJahdu
tsumma Arsalaniy fa Qaala Iqra' Bismi Rabbika Alladziy Khalaqa lInsa-na min
'Alaqi Iqra' wa Rabbuka lAkramu (Rawahu Bukhaariy).
Artinya:
Malaikat (Jibril) datang kepadanya (Nabi) lalu katanya: "Bacalah" Berkata (Nabi): "Aku tidak pandai membaca". Berkata (Nabi selanjutnya mencritakan) aku ditarik dan dipeluknya sehingga aku kepayahan. Kemudian aku dilepaskannya (dan disuruhnya pula membaca). Maka berkata (Jibril): "Bacalah" Berkata (Nabi): "Aku tidak pandai membaca". Aku ditarik dan dipeluknya untuk kedua kalinya, sehingga aku kepayahan. Kemudian aku dilepaskannya (dan disuruhnya pula membaca) Maka berkata (Jibril): "Bacalah" Berkata (Nabi): "Aku tidak pandai membaca". Aku ditarik dan dipeluknya untuk ketiga kalinya, sehingga aku kepayahan. Kemudian aku dilepaskannya (dan disuruhnya pula membaca). Maka berkata (Jibril): Iqra' Bismi Rabbika Lladziy Khalaqa . Khalaqa lInsa-na min 'Alaqin . Iqra' wa Rabbuka lAkramu (diriwayatkan oleh Bukhari)
Shahih Bukhari di atas itu menunjukkan bahwa Nabi Muhammad SAW tidak dapat membaca (Nabi 3 kali disuruh membaca, 3 kali menyatakan tidak dapat membaca)
Perhatikan ayat-ayat di bawah ini:
WaTlu 'Alayhim Naba Bnay A-dama bi lHaqqi (S. alMaaidah, 5:27),
artinya:
Dan tuturkan kepada mereka informasi tentang dua orang anak Adam dengan sebenarnya.
Bacalah (hai Muhammad) kepada mereka perkabaran dua orang anak Adam (Habil dan Qabil) dengan sebenarnya. [terjemahan Mahmud Yunus].And relate to them the story of the two sons of Adam with truth
En vertel naar waarheid het verhaal van de twee zonen van Adam
En verhaal hun de geschidenis van de twee zonen van Adam
Tlu (alif, ta, lam), alif dituliskan tetapi tidak disebutkan, berarti tuturkan, ceritakan, informasikan, relate, vertel, verhaal. Sebenarnya terjemahan Mahmud Yunus dalam RASA BAHASA Indonesia tidak salah, oleh karena dalam bahasa Indonesia membaca itu tidak mesti dari tulisan. Biasa bukan kita dengar ungkapan "membaca" Al Fatihah dalam shalat, membaca do'a, orang buta membaca ayat. Jadi terjemahan "Bacalah (hai Muhammad) kepada mereka", tidaklah selalu dalam ma'na membaca dari sebuah tulisan, melainkan dapat pula membaca dari ingatan. Jadi terjemahan Mahmud Yunus dalam bahasa Indonesia dari ayat [5:27], tidak boleh dijadikan dalil bahwa Nabi Muhammad SAW dapat membaca huruf. Maka hendaklah orang hati-hati dalam memahamkan ayat Al Quran, haruslah bukan dari terjemahan, melainkan harus dikaji dalam bahasa aslinya yaitu Quranun 'Arabiyyun, bahasa Arab Al Quran.
Di bawah dikemukakan pula sejumlah ayat di mana Mahmud Yunus menterjemahkan (alif, ta, lam) dengan membaca. Satu ayat alifnya dibaca: Atlu, lima ayat hanya dituliskan alif tetapi tidak dibaca: Tlu, karena didepannya ada Wa dan Fa.
Qul Ta'aalaw Atlu Maa Harrama Rabbukum 'Alaykum (S. alAn'aam, 6:151),
katakan (hai Muhammad) marilah kamu aku tuturkan apa-apa yang diharamkan Maha Pengaturmu.WaTlu 'Alayhim Nabaa Nuwhin (S. Yuwnus, 10: 71).
Dan tuturkan kepada mereka pekabaran mengenai Nuh.
WaTlu Maa Uwhiya Ilayka (.S. alKahf, 18: 27, S. al'Ankabuwt, 29:45),
Dan tuturkan apa yang Kuwahyukan kepadamu.
WaTlu 'Alayhim Nabaa Ibra-hiyma (S. asySyu'araa', 26:69).
Dan tuturkan kepada mereka pekabaran mengenai Ibrahim
WaLla-hu a'lamu bishshawab.
[H.Muh Nur Abdurrahman]

Rabu, 24 Februari 2010

Kisah Seorang Pemuda Kader Ahli Sihir

http://www.dakwatuna.com


Oleh: Mochamad Bugi


dakwatuna.com – Dahulu ada ada seorang Raja mempunyai seorang Ahli
Sihir. Setelah Ahli Sihir itu tua, ia meminta kepada Raja agar
mengirimkan orang pemuda untuk dikader menjadi ahli sihir. Maka
dikirimlah kepadanya seorang pemuda -menurut riwayat Ibnu Ishak di
Sirah Ibnu Hisyam, nama pemuda ini Abdullah bin Tsamir–.

Di tengah perjalanan untuk belajar ilmu sihir, Pemuda itu berjumpa
dengan seorang Rahib. Lalu duduk sejenak dan mendengarkan kata-kata
sang Rahib hingga ia tertarik. Maka sejak itu setiap hari ia akan ke
tempat Ahli Sihir, ia singgah terlebih dahulu ke tempat sang Rahib
untuk mendengarkan ilmu yang diberikannya. Akibatnya, si Pemuda selalu
terlambat tiba di tempat Ahli Sihir. Gurunya, si Ahli Sihir, menghukum
pukul si Pemuda atas keterlambatannya.

Si Pemuda menceritakan kepada sang Rahib bahwa ia selalu dihukum guru
sihirnya karena selalu terlambat. Sang Rahib menyarankan, “Bilang
kepadanya, engkau menyelesaikan pekerjaan rumah dahulu. Kalau kamu
takut dimarahi keluargamu karena pulang terlambat, katakan kepada
mereka ada pekerjaan dari guru sihirmu.”

Suatu ketika dalam perjalanan si Pemuda bertemu dengan binatang yang
sangat besar dan membuat orang-orang takut. Ia berkata pada dirinya
sendiri, “Sekarang saatnya aku mencoba, siapakah yang lebih baik:
Rahib atau Ahli Sihir.” Lalu ia mengambil sebuah batu dan berucap, “Ya
Allah, jika yang benar bagimu adalah Rahib dan bukan Ahli Sihir, maka
bunuhlah binatang itu agar orang-orang tidak terganggu.” Ia lempar
batu itu. Kena. Binatang itu mati.

Segera si Pemuda menemui Rahib. Ia ceritakan semua peristiwa yang baru
terjadi. Sang Rahib berkata, “Anakku, hari ini engkau lebih baik dari
aku. Engkau akan mendapat cobaan. Janganlah engkau beritahu tentang
aku.”

Bersamaan dengan berjalannya waktu, si Pemuda memiliki keistimewaan.
Ia mampu menyembuhkan orang buta, mengobati penyakit kulit, dan
berbagai penyakit lainnya. Keahliannya ini sampai ke telinga seorang
Pengawal Raja yang buta. Pengawal Raja ini datang sambil membawa
banyak hadiah. “Jika engkau mampu menyembuhkanku, engkau mendapat
hadiah yang istimewa,” katanya.

Si Pemuda menjawab, “Aku tidak dapat menyembuhkan siapa pun. Yang
dapat menyembuhkan hanyalah Allah swt. Kalau engkau beriman kepada
Allah, aku akan berdoa agar Allah swt. menyembuhkanmu.”

Si Pengawal pun beriman. Allah swt. menyembuhkan matanya. Pulanglah ia
ke istana dan kembali bertugas mendampingin Raja seperti biasa. Tentu
saja Raja kaget. Pengawalnya sudah tidak buta lagi.

“Siapa yang menyembuhkanmu?” tanya Raja.

“Tuhanku,” jawab si Pengawal.

“Apakah ada Tuhan selain aku?” tanya Raja lagi.

“Tuhanku dan Tuhanmu adalah Allah,” jawab si Pengawal.

Raja marah. Ia memerintahkan pengawal-pengawalnya yang lain untuk
menyiksa si Pengawal beriman itu. Raja ingin tahu siapa orang di balik
perubahan akidah Pengawalnya itu. Maka tersebutlah nama si Pemuda.

Raja luar biasa murka. Si pemuda dipanggil untuk menghadap. Raja
berkata, “Wahai anak muda, sihirmu telah mampu menyembuhkan orang buta
dan orang yang terkena penyakit kulit. Engkau juga mampu melakukan
yang tak dapat diperbuat orang lain.”

Si Pemuda berkata, “Aku tidak dapat menyembuhkan siapa pun. Yang dapat
menyembuhkan hanya Allah swt.”

Mendengar jawaban itu Raja murka. Ia menyiksa Pemuda itu. Raja
menyiksanya terus menerus hingga tersebutlah nama sang Rahib sebagai
guru si Pemuda. Raja memerintahkan pengawal-pengawalnya untuk
menangkap sang Rahib. Setelah sang Rahib berhasil di hadirkan, Raja
berkata, “Keluarlah dari agamamu!” Sang rahib menolak. Ia dihukum
gergaji. Tubuhnya terbelah menjadi dua dari kepala hingga tubuh bagian
bawah.

Raja juga memerintahkan Pengawalnya yang telah beriman untuk keluar
dari
 keyakinan barunya, “Keluarlah dari agamamu!’ Si Pengawal menolak.
Ia pun dihukum gergaji. Tubuhnya terbelah menjadi dua, dari kepala
hingga ke tubuh bagian bawah.

Lalu Raja memanggil si pemuda. “Keluarlah kamu dari agamamu!” Si
Pemuda menolak. Raja menyuruh beberapa pengawalnya membawa Pemuda itu
ke atas gunung. “Jatuhkan dia dari puncak gunung kalau dia tidak mau
keluar dari keyakinannya.”

Setelah sampai di puncak gunung si Pemuda berdoa, “Ya Allah, tolonglah
aku dari mereka.” Gunung pun bergoyang. Para pengawal yang akan
mengeksekusi si pemuda itu jatuh. Mati.

Si Pemuda yang selamat datang kepada Raja. Raja heran, “Apa yang
mereka perbuat kepadamu?” “Aku telah diselamatkan oleh Allah swt.,”
tegas si Pemuda.

Maka Raja memerintahkan pengawalnya yang lain untuk membawa si Pemuda
ke tengah laut. Lemparkan jika ia tidak keluar dari agamanya, begitu
perintah Raja. Ketika sampai di tengah laut, si Pemuda berdoa, “Ya
Allah, tolonglah aku dari mereka.” Tiba-tiba perahu oleng. Terbalik.
Semua tewas tenggelam, kecuali si Pemuda.

Sekali lagi si Pemuda menghadap Raja. Raja terkejut, “Apa yang
terjadi?” Dengan tegas si Pemuda berkata, “Allah membinasakan mereka
dan menolong aku.” Lalu ia menambahkan, “Engkau tidak akan bisa
membunuhku kecuali engkau mengikuti saranku.”

“Apa itu?” tanya Raja.

“Kumpulkan rakyatmu di sebuah lapangan luas dan engkau salib aku di
sebatang kayu. Lalu panah aku dengan busur milikku sambil kau ucapkan
bismillah Rabb ghulam, dengan nama Allah Tuham pemuda ini. Jika engkau
lakukan itu, engkau akan berhasil membunuhku.”

Raja pun melakukan apa yang disarankan si Pemuda. “Bismillah Rabb
ghulam,” ucap Raja. Panah pun meluncur. Tepat menembus pelipis si
pemuda. Si pemuda meletakkan tangannya di pelipis yang terkena anak
panah. Ia pun menghembuskan nafas terakhir. Orang-orang yang
menyaksikan peristiwa itu berkata, “Kami beriman kepada Tuhannya
pemuda ini.”

Seseorang berkata kepada Raja, “Tidakkah engkau saksikan apa yang
engkau khawatirkan? Orang-orang telah beriman kepada Tuhannya pemuda
itu.”

Raja murka luar biasa. Ia memerintahkah tentaranya membuat parit lalu
mengisi parit itu dengan api yang membakar. “Yang tetap beriman kepada
Tuhannya pemuda itu, ceburkan ke dalam parit itu!” titah Raja terucap.
Maka, satu per satu orang-orang yang beriman kepada Tuhannya si Pemuda
diceburkan ke dalam parit berapi itu. Sampai giliran seorang wanita
yang menggendong anaknya. Ia ragu untuk mencebut ke dalam kobaran api.
Anaknya berkata, “Wahai ibu, sabarlah. Lakukan, engkau berada dalam
kebenaran.”

Begitulah, kisah orang-orang yang beriman sebelum kita. Rasulullah
saw. menceritakannya kepada kita seperti yang diriwayatkan Muslim
(3005), Tirmidzi (3340), Ahmad (6/17, 18), Nasa’i (11661), Ibnu Hibban
(873), Tharani (7319), Ibnu Abi Ashim (287). Mereka telah membuktikan
kebenaran iman mereka. Dan pasti akan tiba giliran kita untuk diuji?
Semoga Allah swt. mengokohkan iman di hati kita apa pun yang terjadi.
Amin.

Dalam Sirah Ibnu Hisyam, Tafsir Ibnu Katsir, dan Mu’jam Al-Buldan
disebutkan, jenazah Pemuda ini ditemukan di zaman Khalifah Umar bin
Khaththab. Jari si Pemuda tetap berada di pelipisnya seperti ketika ia
dibunuh. Penemuan ini terjadi saat seorang penduduk Najran menggali
lobang untuk suatu keperluan. Ketika tangan si Pemuda ditarik dan
dijauhkan dari pelipisnya, darah memancar dari luka panas. Jika
tangannya dikembalikan ke posisi semula, darah itu berhenti mengalir.
Di tangan si Pemuda tertulis kata-kata Rabbku adalah Allah. Mendengar
kabar itu, Umar bin Khaththab memerintahkan agar jasad di Pemuda
dibiarkan seperti semula.

Ibnu Katsir berkata, “Kisah itu terjadi antara masa Isa bin Maryam
a.s. dengan Rasul Muhammad saw., dan ini lebih mendekati. Wallahu
a’lam.”

– Kisah Ashabul Ukhdud –

http://www.dakwatuna.com/2008/kisah-seorang-pemuda-kader-ahli-sihir/

Dusta Pendeta Samuel


Empat tahun lalu, Indarwati–bukan nama sebenarnya–menikah secara Islam dengan seorang pemuda. Seluruh keluarga merestui pernikahan itu, karena menganggap mempelai pria itu Muslim yang taat. Belakangan, setelah Indar dikaruniai anak, keluarganya baru tahu jika suaminya seorang pendeta. Ia berkilah, kekristenannya ia terima setelah menikah. Saat ini, Indar pun sudah mengikuti jejak suaminya menjadi aktivis gereja. Bahkan, seorang adiknya juga masuk Kristen.
Kekristenan Indar dan adiknya terungkap ketika ia berusaha mempengaruhi kakaknya, orang tua, dan pamannya agar masuk Kristen. Ajakan ini menimbulkan keretakan keluarga, karena sang paman adalah aktivis PII (Pelajar Islam Indonesia).
“Siapa sebenarnya yang mempengaruhimu kok sekarang jadi seperti ini?” tanya sang paman lagi.
”Kalau Paman ingin tahu jawabannya, nanti saya panggil pendeta saya. Pendeta Samuel Hermawan adalah ahli Islamologi, lulusan pesantren dan STAIN Bandung. Paman bisa bertanya sepuasnya tentang kristen pada dia,” jawab Indra.
Maka disepakatilah pertemuan di rumah sang paman. Ahad malam (15 November 2009), pertemuan dilangsungkan di kawasan Bintaro, Jakarta Selatan. Karena penasaran ada lulusan pesantren dan sarjana Islam yang pindah iman, sang paman mengundang sanak saudara dan tetangganya. Tidak lupa, ia juga mengundang Insan Mokoginta Wenceslaus, ustadz yang mantan Kristen.
Pendeta Samuel Hermawan juga temani beberapa pendeta, pekerja gereja, dan jemaatnya. Dengan batik coklat dan dandanan klemis, ia tampil percaya diri. Seluruh materi disiapkannya dalam laptop dan infocus, lengkap dengan seorang wanita yang jadi operatornya.
Jam 08.00 Wib dialog dimulai. Samuel menerangkan ketuhanan Yesus berdasarkan ayat-ayat al-Qur’an. Insan yang tak asing dengan makalah ini menyela, “Maaf Pak Pendeta, paparan ini sebenarnya bukan pemikiran Anda. Anda mengutip brosur Kristen “Rahasia Jalan ke Surga” yang diterbitkan oleh penerbit palsu Dakwah Ukhuwah. Saya sudah menjawabnya dalam buku “Muallaf Membimbing Pendeta ke Surga” tahun 1999.
Samuel kekeuh menyangkal dan melanjutkan ceramah. “Yesus alias Nabi Isa adalah Tuhan yang menjelma menjadi manusia. Al-Qur’an mengakui bahwa Yesus bisa menyembuhkan orang buta sejak lahir. Bahkan Yesus bisa menghidupkan orang yang sudah mati. Mari kita renungkan. Selain Tuhan, siapa yang bisa memberi nyawa orang mati. Karena Yesus bisa menghidupkan orang mati, maka dia adalah Tuhan,” jelasnya.
Insan mengatakan, “Saya tahu, ayat al-Qur’an yang Anda maksud adalah surat Ali Imran 49 dan al-Ma’idah 110. Tapi ayat ini jangan dibaca sepotong-potong. Jika dibaca utuh, seluruh mukjizat Nabi Isa selalu diiringi kata “bi-idznillah” yang artinya seizin Allah. Jadi, mukjizat itu bukan karena kehebatan Nabi Isa tapi karena izin dan pemberian Allah. Karenanya, yang menyembuhkan dan menghidupkan itu bukan Nabi Isa tapi Allah SWT.”
Samuel tak bisa membantahnya, lalu ia beralih ke pembicaraan lain. Ia menyatakan, menurut Injil Lukas, tidak semua perbuatan Yesus ditulis dalam Injil. Karena tidak ada kitab yang bisa memuat seluruh ajaran Yesus. Insan pun menimpali, “Tolong Pak Pendeta baca, Injil Lukas yang dimaksud itu!” “Wah, saya tidak hafal ayatnya, Pak,” jawabnya singkat.
“Tolong yang lain membaca Injil Lukas yang dimaksud,” pinta Insan. Karena tak ada yang menjawab, Insan pun menjawab sendiri. “Sebetulnya, ayat yang dimaksud Pendeta Samuel bukan Injil Lukas, tapi Injil Yohanes 25:21. Jika tak percaya silakan baca ayat itu,” kata Insan. Jemaat pun membaca ayat itu dan ternyata betul. Mereka makin gusar.
Ketika membuktikan ketuhanan Yesus sebagai orang yang tahu hari kiamat, Samuel mengutip terjemahan surat Luqman ayat 34: “Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat.” Penasaran dengan banyaknya kutipan ayat yang dibaca terjemahannya saja, Insan minta agar Samuel membaca nas Arabnya.
“Pak Pendeta, dari tadi Anda hanya membaca terjemahan ayat tanpa membaca nash Arabnya. Anda ngaku lulusan pesantren dan sarjana Islam, tolong baca nas Arabnya,” pintanya.
Pendeta yang selama ini mereka elukan, ternyata tak lebih pintar dari siswa TPQ (Taman Pendidikan Al-Qur’an). Hadirin sebagian tertawa, geleng-geleng kepala atau bertepuk tangan. “Pak Samuel, bagaimana Anda bisa jadi pendeta dan ahli Islamomogi? Jika Anda tidak menguasai Bibel dan al-Qur’an? Mana mungkin Anda bisa memahami al-Qur’an jika Anda tidak bisa baca-tulis al-Qur’an? Tolong Anda beragama yang jujur saja, jangan menipu jemaat,” nasihat Insan.
Dialog pun tak berimbang, Jam 22.00 Wib acara berakhir. Tuan rumah mempersilakan hadirin menikmati makan malam. Terlanjur malu, Pendeta Samuel dan seorang pendeta pamit meninggalkan jemaatnya yang membaur bersama hadirin. Sambil menyantap makan malamnya, seorang jemaat Samuel berkomentar, “Katanya lulusan pesantren dan sarjana Islam, gak tahunya seperti ayam sayur,” ujar pria 60 tahun yang datang dari Depok itu.

http://suara01.wordpress.com/2009/12/11/dusta-pendeta-samuel/