Senin, 22 Februari 2010

'Islam' Liberal dan Upaya Menodai Akidah Islam

Sehubungan dengan sebuah permohonan judicial review dari sekelompok orang yang mengatasnamakan liberalisme terhadap Mahkamah Konsitusi, untuk menguji Undang Undang Nomor 1 Tahun 1965 Tentang Penyalahgunaan Dan Atau Penodaan Agama terhadap Undang-Undang Dasar NKRI Tahun 1945, masyarakat Indonesia telah memberikan berbagai macam reaksi terhadapnya. Dan saya adalah salah satu orang yang akan menunjukkan pendapat saya sehubungan dengan hal ini.

Sebelum mengkaji segala sesuatu mengenai hal ini, ada baiknya kita mengembalikan sumber hukum dari NKRi ini kepada Dasar Negara NKRI, yaitu Pancasila.

Pancasila dengan tegas menyatakan kalau dasar konsep ketuhanan dalam tatanan bernegara dan berkebangsaan Indonesia adalah dengan mengakui adanya satu tuhan yang maha esa. Pengakuan ini menandakan kalau Indonesia adalah sebuah negara yang mengakui keberadaan Tuhan, dan sebagai konsekuensi politis dari hal ini adalah pelarangan berkembangnya paham atheisme di Indonesia. Selain dari itu, Negara juga mengakui keberadaan enam agama dan kepercayaan.

Dalam UU Nomor 1 Tahun 1965, dinyatakan dalam bagian Penjelasan bahwa : "Sebagai dasar pertama, Ke-Tuhanan Yang Maha Esa bukan saja meletakkan dasar moral diatas Negara dan Pemerintah, tetapi juga memastikan adanya kesatuan Nasional yang berasas keagamaan.
Pengakuan sila pertama (Ke-Tuhanan Yang Maha Esa) tidak dapat dipisah-pisahkan dengan Agama, karena adalah salah satu tiang pokok daripada perikehidupan manusia dan bagi bangsa Indonesia adalah juga sebagai sendi perikehidupan Negara dan unsur mutlak dalam usaha nation-building."

Dapat diartikan bahwa NKRI adalah negara yang beragama Ketuhanan Yang Maha Esa. Yang kemudian dapat diartikan bahwa konsep ketuhanan yang diakui oleh NKRI adalah sebuah konsep dimana Tuhan adalah Maha Esa. Hal ini menutup kemungkinan untuk diakuinya agama dimana mempercayai Tuhan lebih dari satu.

Namun UU tersebut tidak menutup kemungkinan terhadap tumbuhnya sebuah agama baru, selama tidak mengungkit agama dengan ajaran yang sudah ada, mengakui memiliki tuhan yang maha esa, dan tidak menghina ajaran agama yang sudah berkembang. Sebagaimana terjadi beberapa saat yang lalu, sekelompok orang menuhankan dan memegang ajaran baru yang bukan ajaran yang sudah ada. Jika sekelompok orang tersebut tidak menghubungkan ajaran kepercayaannya ini dengan ajaran agama yang sudah ada, maka perkembangan ajaran mereka adalah sah dan tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang, malah bahkan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 memiliki kewajiban untuk melindunginya.

Sebagaimana diutarakan dalam bagian Penjelasan Pasal Demi Pasal dari UU Nomor 1 Tahun 1965 ini, "Ini tidak berarti bahwa agama-agama lain, misalnya: Yahudi, Zarasustrian, Shinto, Taoism dilarang di Indonesia. Mereka mendapat jaminan penuh seperti yang diberikan oleh pasal 29 ayat 2 dan mereka dibiarkan adanya, asal tidak melanggar ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam peraturan ini atau peraturan perundangan lain. Terhadap badan/aliran kebatinan, Pemerintah berusaha menyalurkannya kearah pandangan yang sehat dan kearah Ke-Tuhanan Yang Maha Esa. Hal ini sesuai dengan ketetapan M.P.R.S. No. II/MPRS/1960, lampiran A. Bidang I, angka 6."

Maka jelas kalau Undang-Undang ini sudah sepaham dengan Pancasila selaku dasar negara, dimana pengakuan terhadap konsep ketuhanan tidak menjelaskan bagaimana ajarannya dan syariatnya.

Lalu apa yang perlu dirubah dari Undang-Undang ini? Atau mengapa Undang-Undang ini dianggap tidak sejalan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Tahun 1945?

Luthfi Asysyaukanie, PhD. selaku salah satu ahli yang mewakili pihak pemohon judicial review ini mengatakan kalau Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1965 "melukai rasa keadilan, bersifat diskriminatif, dan berpotensi memicu ketegangan di dalam masyarakat maka sudah selayaknya aturan semacam itu ditinjau ulang." Asysyaukanie adalah seorang dosen yang menekuni kajian filsafat dan pemikiran agama. Lanjut lagi, Asysyaukanie menyatakan bahwa, "Setiap upaya untuk membatasi jumlah agama atau untuk melarang suatu agama berkembang adalah suatu bentuk penodaan terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Bagi saya penodaan terhadap Undang-Undang Dasar 1945 tidak kalah seriusnya dibanding penodaan agama."

Dari kedua pernyataan di atas, dapat dilihat faktor yang menjadi alasan bagi Asysyaukanie dan golongannya untuk mengajukan permohonan judicial review ini. Kedua pernyataan diatas juga memperlihatkan sudut pandang dan prioritas dari kelompok yang diwakilkan Asysyaukanie, bahwa penodaan terhadap Undang-Undang Dasar adalah tidak kalah seriusnya dengan penodaan agama. Tidakkah terlihat paham pluralisme dalam pernyataan ini?

Asysyaukanie melanjutkan dengan menunjukkan kesekulerannya. "Persoalan utama dari Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 adalah bahwa negara ikut campur terlalu jauh dalam urusan agama. Idealnya negara kita atau negara tidak boleh ikut campur dalam urusan agama. Tapi karena alasan sejarah negara kita terlanjur memiliki hubungan yang kompleks dalam persoalan ini. Bahwa negara mengakomodasi agama adalah bagian dari realitas politik yang kita miliki, tapi bila negara ikut campur menentukan mana agama yang benar dan mana agama yang salah saya kira negara telah masuk ke dalam urusan yang bukan wilayahnya." Demikian dinyatakannya. Apabila Negara dianggap terlalu jauh mencampuri urusan agama, dalam arti lain adalah agama juga tidak boleh terlalu jauh mengurusi Negara. Kenapa demikian? Karena yang demikian dinilai sesuai dengan ideologi Negara yang Pancasilais.

Lalu apa yang menjadi masalah? Yang masih dilindungi oleh Undang-Undang tersebut bukanlah penodaan agama yang baru berdiri, justru agama baru akan dilindungi selama tidak mendompleng nama ajaran agama yang sudah ada. Yang menjadi obyek yang dilindungi oleh Undang-Undang tersebut adalah ajaran agama yang sudah ada. Nah, inilah yang menjadi masalah untuk Asyasyaukanie dan golongannya.

Selama ada Undang-Undang tersebut, maka akidah agama Islam akan dapat terjaga oleh hukum dan perundang-undangan, dan tentunya akan sulit untuk 'Islam' Liberal untuk menyusupkan paham liberal mereka ke dalam tubuh akidah Islam yang sudah ada sekarang. Hal ini sangat jelas terlihat ketika Asysyaukanie mengkritik penyusun Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1965 tersebut. "Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 melarang setiap orang menceritakan, menganjurkan dan menafsirkan sesuatu yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama yang dianut di Indonesia. Saya tidak habis pikir apa yang ada dalam pikiran para pembuat undangundang ini. Seluruh sejarah agama adalah sejarah penafsiran. Islam
bermula dari sebuah ajaran yang sederhana, penafsiran-penafsiranlah yang membuatnya menjadi kaya dan kompleks seperti sekarang ini. Penafsiran-penafsiranlah yang mendorong munculnya ratusan sekte dan mazhab di dalam Islam. Sebagian dari sekte dan mazhab itu dianggap sesuai dengan mainstream, sebagian lagi dianggap menyimpang. Tapi penilaian cocok dan tidak cocok, menyimpang dan tidak menyimpang sangat subjektif, tergantung siapa yang mengatakanya dalam posisi apa dia mengatakan."

Nah, relakah umat Muslim Indonesia dengan kemungkinan ini?

Secara pribadi, saya melihat kalau Undang-Undang tersebut memang perlu revisi untuk lebih menjamin kenyamanan umat beragama dalam menjalankan agamanya. Keberagaman agama di Indonesia memerlukan sebuah aturan perundang-undangan yang memadai untuk menjaga ketertiban dan kenyamanan dalam beragama. Revisi ini harus mengangkat beberapa isu penegasan terhadap batasan-batasan intervensi Negara terhadap perkembangan paham kepercayaan dan keyakinan yang berbeda-beda. Hal ini akan memungkinkan Indonesia menjadi lebih beragam dan lebih bercorak.

Satu hal yang pasti mengenai perundang-undangan ini adalah tidak ada yang dinamakan dengan kebebasan absolut. Karena kebebasan absolut hanya akan menodai keberagaman sebuah masyarakat yang heterogen. Bahkan hak asasi manusia pun perlu mendapatkan pembatasan. Hal inilah yang kurang dipahami oleh golongan liberal yang menganggap kebebasan dalam berekspresi adalah merupakan sebuah kebebasan yang absolut.

Wallahu'alam.

Tidak ada komentar: