Senin, 01 Maret 2010, 09:12:56 WIB
Laporan: Teguh Santosa
Jakarta, RMOL. Ada sementara kalangan yang menilai Wakil Presiden Boediono
dan Menteri Keuangan Sri Mulyani sebagai dua maestro ekonomi yang tak
tertandingi.
Keduanya tidak hanya dianggap sebagai tulang punggung tetapi juga juru
selamat perekonomian nasional. Mereka dinilai bersih, memiliki komitmen yang
tinggi dalam mereformasi birokrasi keuangan dan mengelola ekonomi nasional.
Benarkah demikian adanya? Managing Director Econit Advisory Group, Hendri
Saparini, mencium aji pamungkas yang dilancarkan kubu pemerintah agar
Boediono dan Sri Mulyani bebas dari berbagai kesalahan yang mereka lakukan
di balik bail out Bank Century senilai Rp 6,7 triliun. Lebih jauh
menurutnya, manuver yang semakin kencang menjelang Sidang Paripurna DPR yang
akan membahas rekomendasi Pansus Centurygate itu juga bertujuan untuk
mempertahankan paradigma ekonomi ketergantungan yang dianut keduanya dan
sejak lama menjadi mainstream di Indonesia.
"Benarkah Boediono dan Sri Mulyani Indrawati sangat luar biasa sehingga
pelanggaran (yang mereka lakukan) dalam kebijakan publik (bail out Bank
Century) harus dimaklumi?" tanya Hendri dalam perbincangan dengan Rakyat
Merdeka Online beberapa saat lalu (Senin, 1/3).
Hendri lantas membongkar jejak rekam Boediono dan Sri Mulyani, dan
menyimpulkan bahwa keduanya adalah ekonom mediocre yang sebetulnya tidak
punya resep jitu untuk memperbaiki perekonomian nasional selain mengikuti
kebijakan ekonomi yang menjerumuskan Indonesia ke lembah ketergantungan yang
amat dalam.
Di kurun 1997-1998, saat menjadi Direktur BI, Boediono ikut menelorkan
kebijakan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang merugikan anggaran
negara paling tidak selama 30 tahun. Saat menjadi Menkeu, ia membiarkan
privatisasi dan mengeluarakan kebijakan release and discharge yang
membebaskan debitor BLBI dari kewajiban melunasi utang mereka yang menjadi
beban negara. Sebagai Menko Perekonomian di era SBY, kebijakan ekonomi
Boediono pun parah karena telah mengabaikan sektor riil. Boediono lebih
peduli menyemir tampilan makro ekonomi sehingga tampak kinclong. Padahal,
yang sebenarnya terjadi adalah bubble economics yang setiap saat dapat
meletus dan merugikan rakyat banyak.
Sri Mulyani pun tak seindah yang dibayangkan. Tugas utama Menteri Keuangan
adalah mengelola APBN. Tetapi di masa Sri Mulyani, sebut Hendri Saparini,
pengelolaan APBN dilakukan dengan menambah penyakit yang telah menahun
diidap Indonesia.
Selama lima tahun terakhir, APBN naik 2,5 kali lipat, tetapi kesejahteraan
masyarakat tidak mengalami perbaikan. Padahal dalam pasal 23 UUD 1945
disebutkan bahwa tujuan utama APBN adalah kesejahteraan masyarakat.
Pengelolaan belanja APBN pun sangat lemah sehingga realisasi APBN tertumpuk
di belakang. Akibatnya, kemampuan stimulus APBN berkurang jauh. Kelemahan
dalam mengelola APBN ini telah menghasilkan Sisa Lebih Penggunaan Anggaran
(SILPA) dalam jumlah besar. Tahun 2008 sebesar Rp 79,9 triliun dan tahun
2009 sebesar Rp 38 triliun.
Di sisi lain, selama Sri Mulyani menjadi Menkeu, APBN dibiayai dengan high
cost debt. Sementara untuk menutup defisit Menkeu menerbitkan Surat Berharga
Negara (SBN) bruto, yang pada tahun 2004 hanya Rp 32 triliun, namun terus
meningkat di masa SBY, dan kini menjadi hampir Rp 180 triliun dengan yield
yang sangat tinggi. Bila negara-negara lain hanya sebesar 3 persen, obligasi
pemerintah Indonesia kini antara 7 hingga 8 persen.
"Mari menilai dengan jujur. Dengan track record di atas, apakah layak untuk
mengatakan bahwa Boediono dan Sri Mulyani telah mengelola ekonomi Indonesia
dengan baik. Bahkan image bersih dan reformis mereka telah porak poranda
dengan temuan Pansus Centurygate yang membuktikan pelanggaran yang dilakukan
keduanya dan kebijakan untuk memuluskan kebijakan yang terindikasi sarat
unsur korupsi dan bahkan praktik pencucian uang," demikian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar